Membandingkan Novel dan Film Perahu Kertas
Baru-baru ini film perahu kertas lagi cukup menarik penikmat film Indonesia. Hal ini tak lain karena film ini merupaka adaptasi novel terkenal karya Dewi Dee Lestari dengan judul serupa. Saya sendiri tertarik dengan film ini karena sudah membaca novelnya terlebih dulu. So how about you? Tertarik karena suka sama novelnya lebih dulu? nonton filmnya dulu baru beli novelnya? Atau sama sekali gak tahu kalau film ini merupakan adaptasi dari novel? Buat yang belum tahu, buruan beli novelnya dulu deh. Kayanya kurang afdol kalo nonton nih film tanpa tahu cerita asli dari novelnya.
Sebenarnya saya juga baru baca novel ini gak lama sebelum filmnya dirilis. Beruntung, beberapa bulan setelah menyelesaikan bab terakhir, saya dengar kalo perahu kertas ini mau difilmkan. Jadi gak perlu nunggu lama-lama buat mencocokkan imajinasi yang saya bayangkan dengan visualisasi nyata dalam bentuk filmnya. Setelah nonton, ada aja yang suka nanya, mana yang lebih bagus? filmnya atau novelnya? Kayaknya pertanyaan ini nggak perlu dijawab langsung dengan menyebut salah satu bentu karya tersebut. Dalam membandingkan kedua karya yang berbeda. Yang perlu kita korek adalah mencocokkan dan mengorek-orek kelebihan dan kekurangannya.
Pertama adalah soal pemain. Awalnya saya sangat meragukan kemampuan Maudy Ayunda untuk memerankan tokoh utama, Kugy. Cukup susah ngebayangin Maudy yang feminin dan imut berperan menjadi sosok Kugy yang urakan dan tomboy. Tapi pada akhirnya, saya tidak masalah dan malah suka dengan akting dia di sini. Sebenernya empat tokoh utama di film ini sukses memvisualisasi tokoh-tokoh di novelnya. Justru yang diluar dugaan adalah peran Noni dan Eko. Mereka sangat melenceng dari yang saya bayangkan. Saya membayangkan Eko tidak sekocak dan sependek yang ada di filmnya. Dan saya membayangkan Noni tidak setinggi dan secantik yang ada difilmnya. Simpel memang, tapi cukup merusak olahan imajinasi yang saya tangkep melalui deskripsi Dee di novelnya.
Kedua, properti. Nah untuk yang satu ini saya mau acungin jempol untuk film ini. Dari mulai jam kura-kura ninjanya Kugy sampai lukisan-lukisan Keenan. Saya penasaran banget siapa pencipta asli semua lukisan itu. He’s so godamn smart. Diluar bayangan dan lebih keren dari yang saya bayangkan. Lukisan freedom dan jendral pliknya sukses buat saya kagum. Yaa sebenernya saya juga gak ngerti sama sekali soal lukisan. Tapi menurut saya lukisan freedom ini...... ya bener-bener freedom. Gambar sebuah kanvas yang sedang didirikan dengan background balon yang beterbangan. Itu benar-benar freedom dalam arti ‘kehidupan keenan’. Salut.
Ketiga, visualisasi tempat. Saya membayangkan kosan Kugy sedikit lebih bagus, dan kosan Keenan jauh lebih bagus dari yang Mas Hanung Bramantiyo tampilkan difilmnya. Tapi yah, emang tempat ini tidak terlalu penting mengingat hanya beberapa persen saja yang masuk kedalam scene. Yang bagus tentu saja tempat-tempat di Bali dan beberapa galeri lukisannya. Tapi sepertinya Bali memang akan selalu jadi nilai plus untuk sebuah film. Tak ada masalah. Justru saya aneh dengan lokasi Sekolah Alit. Di novel, sekolah ini hanya di gambarkan dengan properti sederhana seperti gazebo kecil dan tempat Kugy mengajar di bawah pohon rindang. Tapi di filmnya, tempat ini malah divisualkan secara berlebihan. Itu terlalu mewah. Lebih cocok untuk sebuah sekolah umum berbasis alam.
Keempat adalah emosi. Saya harus bilang bahwa banyak emosi yang gak nyampe. Terutama beberapa scene yang harusnya nangis, tapi malah nanggung. Pertama, saat Kugy putus sama Ojos. Kayaknya banyak skenario yang dipotong. Ucapan Ojos ke Kugy yang menurut saya ‘harusnya’ bisa jadi tahap awal perubahan ke fase sedih malah gak nyampe. Jadinya, emosi itu gak bikin kita beranjak dari cerita yang awalnya sedikit kocak ke fase sedih. Kedua, saat Noni nemuin buku dongeng Kugy yang harusnya ia hadiahkan untuk Keenan. Lagi-lagi, nangisnya manaaaaa??!! Ya mungkin Mas Hanung memang lebih menginginkan adegan yang natural *mungkiiin*. Tapi untuk sebuah cerita “sahabat yang diam-diaman selama tiga tahun lalu baru tahu akar masalahnya” harusnya lebih drama dari itu (halah). Tapi harus diakui, di novelnya sendiri adegan ini menurut saya kurang greget. Apalagi pas mereka ketemu terus langsung nyerocos kesana kemari. Antiklimaks.
Kelima, cerita. Yang namanya film adaptasi dari novel yah begitu. Ceritanya pasti sama. Dan harus rela nemuin beberapa adegan yang dipotong demi durasi. Tapi menurut saya, hampir semua adegan penting di novelnya dimasukin. Tapi banyak juga yang dipotong. Padahal novel ini terpaksa menjadi dua part hanya dalam sekali shooting. Saya baca artikel Mas Hanung tentang alasan dia menjadikan film ini dua part. Katanya, saking susah nentuin dan tidak inginnya dia memotong adegan-adegan tersebut, dia sampai membaginya kedalam dua part. Agak ngurangin keistimweaan filmnya sih. Apalagi film ini bertema cinta yang diadaptasi dari satu novel. Agak annoying juga. Tapi cukup terobati dengan ending part satunya yang PAS banget.
Cukup segitu saja deh hal-hal yang saya compare dari novel dan film ini. Perbandingan tersebut memang sangat subyektif. Jadi kalo mungkin saya kelihatan lebih memihak ke novelnya, ya wajar saja sih, karena novelnya yang terbit lebih dulu. Jadi mau tak mau posisi yang harus dibandingkan di sini adalah filmnya. Ditunggu part duanya.
saya belum baca ovel dan filnya ru. tapi tertarik juga sam filmnya, pengen nonton. thanks infonya. membantu sekali :)
BalasHapusSama-sama :D
Hapuskalau sekarang lebih pilih film atau novelnya?
BalasHapus