Resensi buku - Masyitoh by Ajip Rosidi




Judul                : Masyitoh
Penulis             : Ajip Rosidi
Halaman          : 144 lembar
Penerbit           : Pustaka jaya
ISBN               : 970-419-340-2

            Saya menemukan banyak buku sastra klasik indonesia di perpustakaan SMPN 14 KOTA CIREBON. Dan karena lagi pengen nambah bacaaan buku-buku macam beginian, jadilah buku berjudul masyitoh ini saya bawa pulang

CERITA

            Masyitoh adalah seorang pelayan kerajaan beranak dua yang mengabdi pada kerajaan Mesir. Ia mempunyai satu tugas khusus, yaitu melayani Putri Taia, anak dari Raja Fir’aon. Suatu ketika dengan tidak sengaja, Masyitoh mengucapkan, “Demi allah, celakalah Fira’on,”. Mendengarnya, tentu saja Putri sangat tersinggung. Ia gusar. Ia pun mencecar Masyitoh dengan berbagai pertanyaan. “Siapa Allah? Kenapa kau tak bertuhan pada Ayahanda Fir’aon? Kenapa kau berani mengucapkan umpatan pada Fir’aon? Apakah Tuhan yang kau sembah itu juga Tuhan para kaum bani israil?” tanya Putri Taia menyudutkan. Tapi Masyitoh tak gentar. Ia tetap geming dan berpegang teguh meskipun putri mengancamnya akan melaporkan hal tersebut pada sang raja. 

Tapi keteguhannya bukan berarti tanpa takut sama sekali. Hatinya berbicara lain. ketenangannya terusik. Ia pun menceritakan semua kekalutannya kepada Obed, suaminya yang merupakan kuli dan pekerja bawahan kerajaan. Atas nasehat bapak Simeon−yang seorang ahli agama dari kaum bani israil yang sebelumnya sudah ia minta untuk datang untuk menyembuhkan siteri, anak pertamanya−Ia pun merasakan sedikit ketenangan.

Namun tak lama, beberapa rombongan dari kerajaan yang dipimpin oleh pendeta Ptahor dan Matufer mendatangi rumahnya. Lantaran keteguhan hatinya dan nasihat dari Bapak Simeon, ia masih saja berdiri tegas di atas keyakinannya. Pun sama halnya dengan suaminya. Karenannya, ia dan sekeluarga di bawa menemui raja untuk di sidang. Dalam sidang, mereka dicecar berbagai perataan yang sama. Tapi kali ini lebih menyudutkan. Bukannya takut, ia sama sekali tak menyiutkan nyalinya. Jawabannya tetap saja sama. Ia bertuhan pada Allah, bukan pada Fir’aon yang baginya hanyalah manusia biasa yang sama sepertinya. Begitupun suami dan anak-anaknya. Meskipun satu per satu dari mereka disiksa dan di injak-injak para algojo. Keyakinannya tak luntur sedikit pun. Sampai pada akhirnya, raja memutuskan untuk membwa mereka ke tempat eksekusi untuk dibakar. Dengan maksud agar hal ini menjadi cambuk untuk kaum bani israil yang berani melawannya. Namun ajaib, sebelum terjadi, Itamar−anaknya yang masih bayi−mengucapkan sesuatu tentang kebesaran Allah yang membuat raja sedikit merenung.

Di lain tempat, Merari−salah seorang kaum bani israil yang merasa kesal akan tindakan bodoh Masyitoh−mendatangi Bapak Simeon. Ia berpendapat betapa tololnya Masyitoh yang tak memikirkan kaumnya akan tindakan bodoh itu. Bapak Simeon dan Amran tak tinggal diam. Mereka berkilah bahwa tindakan Masyitoh adalah yang terbaik. Katanya, apalah artinya keberadaan kaum bani israil kalau ia tak bisa memegang teguh keyakinannya. Perdebatan itu tanpa ujung hingga Nadab−kawan Amran yang ikut berdebat dengan pendapatnya sendiri−muncul. Ia tak sepenuhnya setuju dengan pendapat bapak Simeon dan Merari. Menurutnya tindakan Masyitoh itu benar, tapi tindakan kaumnya yang masih saja diam atas kesemena-menaan bangsa Mesir adalah tindakan bodoh. Ia mempertanyakan tentang manusia pilihan. Manusia pilihan yang kata Al-qur’an dan yang sangat ditunggu-tunggu Bapak Simeon datang dan membawa kaumnya bangkit. Sampai kapan mereka menunggu. Ia pun mengkritik tindakan Bapak Simeon yang hanya mampu berdoa sambil menunggu tanpa tindakan. Ia mendobrak kaumnya untuk bersatu agar berani melawan kerajaan mesir. Ia mengajak kaumnya untuk menunjukan jati dirinya. Ia pun berhasil meyakinkan semuanya. Termasuk Bapak Simeon yang akhirnya pun ikut menyetujuinya.

KOMENTAR

            Seperti biasa, sastra klasik selalu di penuhi dengan kosakata khas melayu yang cukup asing. Novel yang dibuat dalam bentuk drama tiga babak ini memiliki konflik yang sederhana dan fokus cerita yang bagus. Gampang ditebak tapi tidak membosankan. Saya cukup menyukai karakter Nadab di sini yang berani, revolusioner, pendobrak namun tetap sabar. Karakter kuat seperti Masyitoh di sini cukup membosankan buat saya, terlebih suaminya yang terkesan selalu bersembunyi dibalik ketiak sang istri. Tapi karena ini sastra klasik, semua karakter memang dibuat untuk menggambarkan sifat-sifat manusia secara kuat. Putih dan hitam. Jadi semuanya bisa dimaafkan, Haha.. Tapi emang beneran deh, susah banget kalau mau mengomentari sastra lama. Soalnya bukan era saya dan saya juga nggak terlalu ngerti ngerti banget banget tentang sastra model begini. Jadi ya cuma ngomentarin seadanya aja. Sekedar pendapat pribadi tanpa memperhatikan penggunaan bahasa dan unsur ektrinsik yang sesuai jamannya.

Komentar

Postingan Populer