Senja di Akhir Tahun


 
Source : My document

Senja sore ini tetap sama. Masih menguning dan meredup di ujung barat. Ia mungkin akan tidur semalaman. Lalu sinarnya menyambut awal yang penuh harapan

Tatapan lekat sore pun tak pernah berubah. Masih menunggu. Katanya, senja di akhir tahun adalah pertanda baik. Nenekku yang bilang. Aku harus banyak berdoa biar senja akan membawaku pada perjumpaan. Ayahku akan muncul di balik langit yang merona dan deru angin perpisahan.

Tapi sayang, senja itu bukan sekarang. Ini hanyalah tahun ketiga sejak Ayah berteman dengan dinding penjara. Kasih sayangnya yang teramat membawanya pada petaka. Hukum selalu tajam untuk orang sepertinya. Tangan panjangnya adalah kriminal besar bagi negara. Bahkan lebih besar dari para koruptor. Para manusia itu ditempatkan dalam dinding penjara mewah yang ruangangannya dapat menentang cuaca. Di dalamnya pun penuh benda-benda elektronik pelipur lara. Sementara ayahku? ia hanya diasingkan pada sel pengap dengan kasur kotor dan hawa gigil yang membuat tubuhnya menggeligis tiap malam. 

Bukan aku yang sok tahu. Bukan. Tapi hukum itu sendiri yang membiarkan gaungnya. Kenyataan bergumam lantang. Mulut manusia tak bisa dibekap. Meski ditutup-tutupi, selalu saja ada mereka yang tegas memberi kabar. Ada layar kotak persegi yang sibuk memberitahuku tentang kebusukkan mereka. Juga nyamuk-nyamuk pengganggu yang siap memberi kabar tentang ayahku setiap harinya.

Petaka. Padahal, Ayah hanya ingin melunasi uang sekolahku. Menghindari bayang-bayang ancaman putus sekolah dari para penindas yang tak memberi celah kami untuk belajar dengan tenang terlebih dulu.

Ayah pernah mengajarkanku dulu, untuk tak boleh menadahkan tangan sedikitpun. Biar ia yang memikul semuanya. Katanya. Siapa yang menyangka kalau pikulannya kini membuat ia menjadi kriminal kelas teri yang dipandang jijik dan nista oleh hukum negara. Ah bukan, oleh pemegang hukum tepatnya.

Huh, sudahlah. Aku tak mau terus berkeluh. Meringkik pada hidup yang jelas-jelas sudah Tuhan gariskan melalui takdir 'umri semenjak aku masih dalam kandungan. Aku hanya ingin menikmati senja saja pada sore akhir tahun ini. Mengadu pada alam yang diam dan gelagat semesta yang mengertiku.

Senja itu bukan sekarang. Bukan. Aku harus menanti hingga empat tahun lagi. Dan tetap serupa. Berharap ia muncul dibalik langit yang menguning, bumi yang hendak temaram, dan angin yang meniupkan deru perpisahan, namun menyambut pada kembalinya perjumpaan.

Komentar

  1. Senjaku tak sama seperti awal tahun lalu. Senjaku yang meredup. Tak berbinar.
    Sekarang, senjaku kembali menunjukkan kilau emasnya.
    Aku senang. Bahagiaku selalu.
    Aku tahu, senja tak selalu menghangatkan.
    Tapi, senja itu indah. Senja itu abadi.
    YA, SENJA ITU ABADI!!
    Senja kan selalu ada di hatiku.
    Selamanya :)





    *ngilang*

    BalasHapus

Posting Komentar

Bercuap here!

Postingan Populer