Winter First Date ( Four Season #1 )



Source: catatanbelakang.blogspot.com
   

Seusai mematikan tombol off pada jam wakernya, Ayaka kembali menenggelamkan tubuh mungilnya yang dibalut sweater bergambar teddy bear kedalam hangatnya kakebuton[1] putih bermotif dedaunan yang sempat bergeser agak kebawah dari tempatnya semula. Matanya masih enggan dibuka. Padahal matahari diluar sana sudah dengan gagah menyeringai pada posisi empat puluh lima derajat dari ufuk timur.           

Ketukan pintu di luar semakin mengganggu pendengarannya. Perlahan suara itu kian membesar dan memaksanya untuk membuka mata lebar-lebar. Ayaka duduk enggan di atas futon[2]nya menatap tajam pada suara dibalik ketukan itu.  
           
“Aya-chan bangun!” suara ibunya terdengar kencang seiring ketukan yang semakin beringas.           
Dengan gerak tanpa minat, ia membuka pintu tersebut. Mendapati ibunya tengah berdiri kesal. “Jam berapa sekarang?”             

Menanggapi pertanyaan itu, ia menoleh sejenak pada jam dinding berukuran persegi yang tergantung cantik di samping kiri jendela kamarnya. “Hah!”            

Naze[3]? Kamu punya janji hari ini? cepat sana mandi, temanmu sudah menunggu di ruang tamu,” kata ibunya dengan nada sedikit kesal, sehingga membenturkan kesadaran Aya pada janji yang sebelumnya telah ia sepakati dengan Heiji Aikawa, pemimpin sebuah klub otaku di sekolahnya bernama Oishi.            

Ayaka buru-buru meraih handuk dan pakaiannya dari dalam lemari yang kemudian ia bawa ke arah kamar mandi. Membiarkan ibunya yang masih berdiri terbengong melihat tingkahnya yang sangat kekanakan. Sudah tahu ada janji. Masih aja nonton dorama sampai tengah malam. Dengus ibunya dalam hati.

***
            
Gomen nasai, Heiji-kun[4],” ucap Ayaka seiring dengan digesernya fusama[5] ruang tamu.
Ia mendapati Heiji yang tengah duduk bersila menatap ke luar membelakangi pintu masuk. Melihat ke jendela putih bening yang mengarah halaman samping. Halaman yang berisi beberapa bonsai dan tanaman hias kesukaan ibunya yang kini harus terlumuri butiran salju.             

“Sudah lama?” tanya Aya sesaat setelah menduduki alas tatami[6] dan menyandarkan tangannya pada meja di samping kanan Heiji. Rambutnya tergurai belum sepenuhnya kering karena habis keramas.           

“Hmm.., cukup,” jawabnya ragu-ragu.            

“Apa itu?” Aya menunjuk pada plastik merah di atas meja dekat Heiji.             

“Ah ini, bukannya kita berniat mencicipi nebayaki udon yang khas di dekat stasiun pagi tadi?”

Gomen ne.”             

“Aku  sengaja membeli tempat makan ini dari mini market dekat kedai, lalu memesan makanan ini untuk dibawa ke rumah.”            

Arigatou, maaf ya, nggak bisa nepatin janji. Tadi malam aku tidur sampai tengah malam karna nonton dua dorama favoritku. Selain weekend, Oka-san[7] nggak mungkin ngijinin aku tidur sampai selarut itu. Maaf, padahal aku sudah menyetting waker pada jam enam pagi, lalu mengingat-ingat keras apa yang akan kulakukan besoknya sebelum tidur. Tapi.....”
             
“Sttt,” Heiji mengangkat telunjungnya menyentuh bibir. Memaksa cerocosan Aya untuk segera berhenti. “Nih makan, nanti keburu dingin.” Ia membuka bingkisan tersebut. Menyerahkan yang staunya kepada Aya.
             
Aya menyeruput kuahnya terlebih dulu. Menikmati sensasi kehangatan yang perlahan memanjankan suhu tubuhnya yang masih dikuasai udara musim dingin yang sudah memasuki awal bulan kedua.
            
“Udon di samping stasiun memang yang paling terkenal. Pada musim dingin, makanan ini akan cepat habis. Kalau tidak pagi-pagi, mungkin kita akan kehabisan.”            

“Sayang sekali nggak bisa makan di tempatnya, ya. “             

“Padahal suasana di sana sangat nyaman loh. Bisa makan sambil memandangi lalu lalang kereta dan monorail.”            

“Oishi....” Ucap Aya tak memperdulikan Heiji yang masih belum tuntas dengan kalimatnya. Ia memanjangkan akhir kalimat tersebut setelah memasukan mie itu dalam ukuran besar kedalam mulutnya menggunakan sumpit. Ekspresi wajahnya sangat polos. Membuat Heiji enggan untuk melewatkan guratan lugu nan lucu pada gadis di hadapannya itu.           

Sesuai janjinya, setelah melakukan makan pagi dengan nebayaki udon yang harus melenceng dari tempat perjanjian semula. Mereka melanjutkan rencananya untuk mengunjungi taman Odori. Sebuah tempat dimana perhelatan festival Sapporo Yuki tengah diadakan. Festival ini sedang memasuki hari keempat. Di pagi hari mendekati jam sepuluh begini, tak terlalu banyak pengunjung yang datang kalau dibandingkan dengan ramainya pengunjung pada malam hari. Terlebih jika harus dibandingkan dengan malam ketujuh atau malam terakhir festival ini, pengunjuung yang datang pasti akan berkali-kali lipat.

Pada malam puncak Sapporo Yuki Matsuri itu, Heiji beserta teman-temannya di klub Oishi berencana akan mengunjungi tempat ini secara bersama. Mereka akan melakukan photosoot cosplay dengan Jurina dan Aya sebagai cospalyernya. Oleh karenanya Heiji mengajak Aya mengunjungi tempat ini pada hari minggu dengan maksud agar teman-temannya tak dapat mendengus tingkah mereka yang sembunyi-sembunyi.

***

            Sesaat sebelum menaiki bus umum ke taman odori. Aya memutuskan untuk mengubah tujuan. Ia lebih memilih untuk pergi ke Sapporo Tsudome, salah satu tempat selain taman Odori dan Jalan Susukino yang menyemarakkan musim dingin di Sapporo. Berbeda dengan taman Odori yang memanjakkan mata pengunjung dengan bongkahan es raksasa yang dibentuk berbagai macam benda dan mahluk hidup tiruan dan Jalan Susukino yang mempertontonkan patung es dalam bentuk yang lebih kecil. Di Tsudome, pengunjung lebih dimanjakan dengan suasana kekeluargaan. Di sini terdapat beberapa macam permainan dan tempat makan untuk hiburan keluarga.

Seusai dari permainan seluncuran salju yang berkali-kali mereka berdua mainkan—yang bahkan membuat Aya ketagihan, sampai-sampai ia naik dan berseluncur hingga tujuh kali, menyaingi Heiji yang hanya puas dengan empat kali berseluncur—kini mereka tengah tersesat di sebuah lorong labirin.

Kalau pengunjung yang lain berlomba-lomba mencari pintu keluar, mereka berdua tak memikirkannya. Mereka hanya berjalan santai tanpa mempedulikan yang mereka temui apakah jalan buntu atau pintu keluar. Mereka hanya menikmati waktu yang ada untuk berdua.

“Bagaimana?” tanya Heiji. Ia berhenti di sebuah jalan buntu. Tak segera memutar arah.

“Apanya?” Aya bertanya balik. Kedua tangannya yang terbungkus sarung tangan berbulu itu digosok-gosokkan untuk mengusir hawa dingin.

“Pernyataan perasaanku.” Ia kini menyamping memandang wajah Aya.

“Gimana dengan Jurina-san?” Aya iku menatapnya.

“Entahlah.”             

“Kalau dia tahu, pasti nanti berhenti jadi cosplayer di club.”            

“Aku sih nggak masalah, tapi pasti anggota yang lain akan menyalahkanku.”            

Aya tak merespon. Ia berjalan pelan ke arah semuala. Mencari jalan keluar.            

“Biar hubungan ini cuma kita yang tahu,” lanjut Heiji, memutuskan. Ia berjalan sedikit dibelakang Aya.             

“Ini akan menimbulkan masalah yang lebih besar.” Air muka Aya menampakkan sorot khawatir. Membelakangi Heiji. Dalam hatinya ia jelas menolak keputusan itu.

“Kalau gitu aku akan mengundurkan diri jadi ketua di klub.” Heiji dengan pasti memutuskan. Ia berjalan dua langkah menghampiri Aya yang masih mematung.            

Dame Heiji-kun![8]” Aya langsung meresponnya dengan wajah yang lebih khawatir. “Empat bulan lagi juga kenaikan kelas. Bukankah ini memang duniamu.”           

“Ya. Tapi...” Heiji menghembuskan napasnya, berat. Sekumpulan asap putih bergumul keluar dari mulutnya. “Onegai,” mata Heiji lekat-lekat memandangi wajah Aya. Perasaan gugupnya ia coba sembunyikan dengan sedikit keberanian yang tiba-tiba menyembul. “Daisuki da Aya-chan. Tsukiatte kudasai?[9]            

Aya menutupi rona pipi merahnya dengan menundukkan wajah. Kakinya dimain-mainkan di atas salju. “Doki-doki,[10]” desisnya dengan suara kecil.            

Zettai ni shiawase ni suru kara... Aya-chan.[11]”          

Aya tak menjawab. Ia hanya mengangguk kecil. Perasaan khawatirnya masih tak bisa ia sembunyikan

***

            Senin pagi, saat istirahat pertama. Jurina berjalan cepat ke arah tangga terdekat melewati beberapa koridor kelas satu dan kelas dua. Tiba di lantai dua, ia belok ke kiri. Ia melewati beberapa ruangan klub. Klub musik dan ikebana di sebelah kiri. Klub perpustakaan dan klub minum teh di sebelah kanan.           

Di ujung koridor dekat toilet, ia berhenti pada ruangan yang lebih kecil. Di pintu itu tertulis ‘Oishi Gaku (Otaku Ishikawa Gakuen)’. Jurina mendengus berat sebelum tangan kanannya memelintir daun pintu.          

Ia masuk dengan wajah khasnya. Namun kali ini ekspresinya berbeda.

Di dalam ruangan, ia melihat satu persatu temannya. Ada Heiji yang tengah duduk di depan komputer. Yori yang tengah tenggelam dalam doujinshi K-ON-nya yang ia beli bulan lalu di festival doujin sapporo. Ayaka yang tengah melamun di meja dengan tangan yang menjaga dagunya. Serta Chitose yang sibuk menggambar di buku sketsanya.
            
“Saya keluar dari Oishi!” ucap jurina tanpa basa-basi.



~ See you at next season  ~

[1] Selimut untuk tempat tidur ala jepang
[2] Perangkat tempat tidur ala jepang yang bisa digulung
[3] kenapa
[4] Maaf, kak Heiji
[5] Pintu geser khas jepang
[6] Alas duduk khas jepang yang terbuat dari jerami padi yang dipadatkan dan bagian luarnya dilapisi anyaman
[7] ibu
[8] Jangan, Heiji!
[9] Aku suka kamu, maukah jadi pacarku?
[10] Deg-degan
[11] Aku akan membahagiakanmu, Aya-chan

Komentar

Postingan Populer