Resensi Novel Imaji Dua Sisi
Judul : Imaji Dua Sisi
Penulis : Sayfullan
Penerbit : De Teens, DIVAPress.
Terbit : Juni 2014
ISBN : 978-602-7968-86-8
"Lintang bagi saya seperti candu. Memabukkan dan selalu membuat saya ketagihan. Dia ibarat zat karsinogenik cinta yang menumbuhkan sel-sel kanker kasmaran dalam tiap mililiter darah saya"
Cerita
Bumi,
Lintang dan Bara sebenarnya sudah dipertemukan sejak Ospek, namun mahasiswa
Tekkim UNDIP ini baru akrab setelah dijadikan teman satu kelompok dalam LDO (latihan
dasar organisasi). Lintang yang galak namun menyimpnn kenangan pahit tentang
cinta, Bumi yang pemalu dan menyimpan sisi gelap, juga Bara yang easy going, friendly tapi penyakitan, kini
bersatu menjadi teman satu tim yang kompak. Tentu saja, cinta hadir dan menjadi
hal wajar yang tumbuh di antara persahabatan mereka.
Awalnya,
Lintang bersikap sangat ketus dan galak terhadap Bara, namun perlahan ia melemahkan
sikapnya karena tekad yang bulat untuk memulai kehidupan yang baru—move on dari
kenangan pahitnya. Sementara itu, Bara selalu merasa cemburu terhadap Bumi yang
sering kali mendapat perlakuan baik dari Lintang. Dan Bumi, dengan cintanya
yang obsesif ia rela menjadi seseorang yang bukan dirinya demi Lintang. Sampai-sampai,
Bumi memberanikan diri meminta Bara untuk membantunya meraih hati Lintang. Tapi
sayang, semuanya berubah ketika Bara dianggap berkhianat. Bumi mendapati Lintang
dan Bara pergi berdua ke Jakarta. Sebuah kesalahpahaman yang akhirnya
menjadikan sisi gelap Bumi yang ambisius tumbuh subur menguasai hatinya.
Dalam
benaknya yang ambisius akan cinta, Bumi berambisi untuk merealisasikan satu
teori tentang rekayasa cinta yang ia percaya. Ia yang merasa bahwa Lintang
lebih mencintai Bara dibanding dirinya, berniat untuk mengekstrak feromon Bara,
agar apa yang membuat Lintang tertarik dengan Bara selama ini bisa menjadi
miliknya. Berhasilkah Bumi? Apa yang terjadi selanjutnya pada Bara dan Lintang?
Jawabannya ada di buku setebal 332 halaman ini.
"Seperti kereta ini, terus melaju, masih ada orang-orang di sana yang menunggu senyummu di pemberhentian terakhir"
Komentar.
Melihat
kaver dan blurbnya, saya dan kalian pun pasti bisa langsung menebak bahwa novel
ini akan berbicara tentang cinta yang difusikan bersama teori-teori kimia. Terlebih
dalam prolognya, sebuah cuplikan pemicu penasaran langsung memperjelas tema
dalam novel ini. Saya pun langsung teringat novel teenlit yang saya baca semasa
awal SMA; Relativitas Cinta Vs Obession karya Widagdo. Novel cinta remaja yang
dibalut dengan teori-teori fisika itu sebenarnya simpel dan klise, tapi menjadi
menarik karena peleburan antara cinta dan pernak-pernik fisikanya sangat
kental. Dan cukup disayangkan, saya kurang bisa menemukan paduan kimia-cinta
itu di awal-awal novel Imaji Dua Sisi ini. Ada sih, cuma tidak banyak.
Novel
ini lebih banyak berbicara tentang kehidupan kuliah di antara ketiga tokohnya. Unsur
kimia akan sangat terasa saat kita mencapai halaman-halaman ujung novel ini. Jadi,
harap bersabar dan jangan terburu-buru, karena penulis membuat kehidupan kampus
Lintang-Bumi-Bara cukup menarik untuk diikuti. Nikamtilah saja pelan-pelan,
walaupun, pasti datang saat kita melontarkan pertanyaan, “Mana feromonnya? Kok belum
muncul-muncul”. Lalu saat konflik menaik, kita akan dibuat berlari-lari dengan
ceritanya. Cerita yang awalnya lambat seperti delman tiba-tiba langsung melesat
secepat shinkansen. Agak mengagetkan sih.
Saya
cukup menyayangkan konflik-konflik kecil yang menurut saya seperti jerawat. Mudah
datang mudah pergi *halah*. Sebenarnya ada satu adegan yang bikin saya langsung bangun
(kebetulan bacanya lagi tidur) dan emosi saya ikutan naik. Terlebih saat
kakaknya Lintang, Ibu-Bapaknya Lintang, mantan pacarnya Lintang—yang juga calon
suami kakaknya Lintang, dan juga Lintang itu sendiri, terlibat adu jotos suatu
konflik. Wah seru nih, celetuk saya. Tapi sayang, pas lagi panas-panasnya,
tiba-tiba saya seperti diguyur air seember saat konflik disudahi dengan begitu
cepatnya. Kalau boleh sok tahu sih, mungkin penulis mempertimbangkan agar
cerita tidak out of the track. Tapi efeknya, pembaca seperti di PHP sama adegan
serunya. Kalau ibarat nonton sinetron, pas si tokoh baik lagi jambak-jambakan
sama selingkuhan suaminya, tiba-tiba tipinya mati. Plap! (Abaikan!!! Mulai ngawur
-__-).
Oke,
lanjut ke hal yang paling saya suka. Karakter. Ya, karakter di novel ini menjadi
hal yang paling menonjol. Deskripsinya jelas, pewatakannya kuat dan konsistensi
penggunaan dan pembagian pov1 di novel ini punya efek anti borring. Penggunaan gue
untuk Lintang, saya untuk Bumi, dan aku untuk Bara itu menurut saya cukup
cerdas. Entahlah, saya mungkin baru pertama kali baca penggunaan pov dengan
panggilan diri si ‘aku’ yang berbeda-beda di sebuah novel.
Dari
semua karakter, saya paling suka dengan karakter Repi si penghibur. Tokoh ini
sukses bikin saya ketawa beberapa kali. Dan yang lebih menarik lagi, ketiga karakter
utama di novel ini disisipi sisi yang disembunyikan. Saya tertarik dengan
karakter Bumi yang sebenarnya potensial banget jadi tokoh perusuh. Ketiga tokoh
yang semuanya protagonis ini akan meraih konfliknya ketika perubahan sisi
antagonis di diri Bumi terjadi. Tapi sayang, penulis sepertinya lebih memilih
realistis. Bumi tetap pada sisi ambisiusnya, tapi dalam batas yang tidak
kelewat psikopat.
Apa
lagi ya? ummm.., saya suka banget sama kavernya. Komikal banget. Dan saya
sangat jarang menemukan kesalahan penulisan pada novel ini. Mulus. Saya jadi
penasaran sama karya Sayfullan yang lain; Mi Amor. Dulu sempat baca bab awal
novel itu di toko buku. Tapi belum sempat beli karena ada godaan lain *malah
curhat -__-* Ah sekian review absurd dari saya. Wassalam :D
Halo pengagum senja. Tulisan kamu bagus, mengalir seperti hujan di pelataran senja. Siihyy :D keepwriting. Salam kenal.
BalasHapus@Rezita Mkasih udah mampir ke blogku ya. :D Salam kenal jugaa.
BalasHapus