Eat Pray Love in Bali
![]() |
Source; http://www.the-numbers.com |
Seseorang menghancurkan hidup dan angan-angannya tiga minggu lalu.
Mitha merencanakan sebuah pernikahan bertema tradisional Betawi yang dipadankan dengan gaya Eropa sebulan lalu dengan seorang pengusaha properti asal Bandung. Semua persiapan sudah siap dan undangan yang jumlahnya hampir lima ratus itu sudah disebar. Ballroom hotel bintang lima pun sudah dipesan. Namun sayang, dua hari menjelang hari bahagia itu tiba, sang calon suami diketahui telah membuat perempuan lain hamil terlebih dulu.
Kekacauan itu membuat Mitha mengurung diri hampir seminggu tanpa keluar rumah. Bahkan keluar kamar pun jarang. Ia kepalang malu. Sekalinya keluar, ia hanya pergi ke rumah Melany, karena ia bebas menceritakan semua kesedihan dan keluh kesahnya di sana.
Kekacauan itu membuat Mitha mengurung diri hampir seminggu tanpa keluar rumah. Bahkan keluar kamar pun jarang. Ia kepalang malu. Sekalinya keluar, ia hanya pergi ke rumah Melany, karena ia bebas menceritakan semua kesedihan dan keluh kesahnya di sana.
“Lu sudah pernah baca atau nonton Eat Pray Love?” tanya Melany saat itu, setelah Mitha selesai dengan ceritanya.
“Julia Robert?”
“Yes.”
Mitha hanya menggeleng sebentar masih dengan wajah sembabnya
“Lu harus baca dan nonton filmnya,” ucap Melany sambil memberikan buku dan DVD miliknya kepada Mitha
“Gue lagi sedih, Mel. Bukan lagi pengen baca buku atau nonton film.”
“Tapi lu harus baca!”
Mitha pun mengiyakan saran sahabatnya. Ia membaca bukunya terlebih dulu dalam empat hari dan menonton filmnya pada malam hari sehabis menyelesaikan bukunya.
Kini ia mengerti mengapa Melany menyuruhnya membaca dan menonton film itu. “Kenapa kondisi gue mirip kayak Liz, ya?” desahnya sesaat setelah menyelesaikan buku itu.
Melany menilai, hidup Mitha yang sekarang ini cukup mirip dengan permasalahan tokoh utama dalam novel dan film Eat Pray Love, Elizabeth Gilbert atau Liz. Bedanya, tokoh utama dalam novel itu merasa hidupnya berantakan karena perceraian. Sementara Mitha hidupnya kacau karena gagal menikah.
Mitha pun menelepon Melany malam hari sesaat setelah menonton filmnya.
“Mel, gue pengen recovery perasaan dan pikiran kayak yang dilakukan Liz?”
“Pergi ke Italy, India dan Bali?” tanya Melany agak terkejut.
“Rasional aja dong. Yang paling deketlah.”
“Bali?”
“Yes. Lu kan dua bulan lalu habis honeymoon di sana. Gue mau ke rumahlu besok, nanya-nanya soal Bali.”
“Oke, ke sini aja.”
***
***
Mitha menginap di Nusa Dua Beach Hotel & Spa di kawasan BTDC, Nusa Dua. Hotel itu dianjurkan oleh Melany, pasalnya ia pun menginap di hotel serupa semasa melakukan bulan madunya tiga bulan yang lalu. Melany menilai, kawasan di Nusa Dua memilik pantai-pantai yang asri, nyaman dan tak seramai maupun sehuru-hara pantai Kuta. Cocok untuk keadaan Mitha yang butuh tempat relaksasi alam sekaligus pelepas penat.
Mitha memilih kamar tipe deluxe yang meghadap laut. Hamparan luas samudera hindia yang biru dan beratapkan langit cerah tersinari teriknya Bali itu harusnya sedikit membuatnya lebih rileks. Tapi bukan ketenangan yang ia dapat, ia malah kembali terkenang tentang kegagalan pernikahannya. Kamar itu membuat angan-angannya tentang bulan madu kembali terngiang dalam kepala. Ia pun buru-buru berganti baju dan keluar hotel untuk menghindari memori busuknya yang tiba-tiba saja menyambar.
Ia langsung kabur menikmati angin di Pantai Nusa Dua. Namun hanya kurang dari satu jam ia menikmati tempat itu. Ingatan tetang pernikahannya kembali muncul dan merusak segala keindahan yang diperoleh mata dan tubuhnya. Sepoi angin dan birunya laut menjadi tak berarti lagi.
“Arrghhh!! Kapan gue bahagia kalau semua tempat indah yang gue rasain selalu kehalang ingatan itu! damn it!” bentaknya kencang-kencang pada deru angin. “Go to hell Andy! You’re the fuckest man i’ve ever known,” lanjutnya sambil menendang butiran pasir putih di depannya. Membuat sebagiannya menghambur ke udara.
Beberapa menit berjalan di sekitaran pantai, ia meneduh di sebuah rumah makan Thailand di kawasan The Bay Bali bernama De Opera Beach Club, sebuah kawasan restoran yang berkonsep pantai dengan kolam renang cantik yang di tengahnya dipasangi dermaga mengapung. Keseluruhan tempat ini didominasi dengan desain kayu yang eksotis. Kursi yang Mitha pilih adalah yang berada di dekat kolam renang dan menghadap ke pantai. Angin yang perlahan menyisir kulit pun terasa lebih lembut karena matahari yang sudah mulai beringsut. Ia sedikit lebih rileks dari sebelumnya.
Mitha memilih panang gai sebagai menu utamanya. Campuran pasta kari merah yang digoreng dengan suwiran daging ayam lalu disirami dengan santan itu sekilas mirip dengan masakan Indonesia. Begitu semua menu yang ia pesan tersaji cantik di meja makannya, Mitha langsung menjulurkan lidahnya pada sendok yang sudah ia isi kuah dan suwiran daging ayam dari mangkuk panang gai. Mitha merasakan lidahnya seketika terbakar sekaligus nikmat dalam sesaat. Perasan jeruk purut membuat sensasi asam dan segar langsung menyusup disela-sela lidahnya. “This is what i need!” desahnya sambil mengunyah makanan dengan mata sedikit terpejam. “Good food, good view.”
“Bli bli...” panggil Mitha pada salah satu pelayan yang tengah lewat membawa piring kotor. “Apa di sini ada cooking class?”
“Ya, benar. Nona bisa bertanya lebih lanjut di sana,” jawab pelayan sambil menunjuk sebuah tempat bagian informasi dan reservasi.
“Matur suksma, Bli .” Ucap Mitha dengan bahasa Balinya yang terbatas. Ia pun mendaftar satu kelas memasak setelah usai dengan jamuan makan sorenya.
***
Mitha melipat mukena yang ia pinjam dari masjid, dengan seadanya. Lalu meletakannya lagi di sebuah tumpukan laci berwarna cokelat di pojok. Ia baru saja melakukan Sholat Isha berjama’ah di Masjid Agung Ibnu Batutah. Masjid yang letaknya berdekatan dengan pura, kuil, juga gereja ini merupakan satu-satunya masjid besar di daerah Nusa Dua. Letaknya yang berdekatan dengan tempat peribadatan agama lain menandakan bahwa Bali adalah daerah yang tentram dan tolerir. Perbedaan agama bukanlah halangan untuk saling berteman dan bergotong royong. Mitha mengetahui masjid ini dari seorang resepsionis hotel. Dan ia langsung menuju ke sini menggunakan taxi yang tersedia di sekitaran hotel begitu Azhan berkumandang
Saat Keluar masjid dan menuruni tangga, ia melihat seseorang yang tak terlalu asing tengah beranjak menaiki tangga. Seseorang itu mengingatkannya pada sebentuk wajah yang tak cukup jelas namun ia kenal. Seseorang yang rasa-rasanya sangat ia kenal, namun sedikit lupa.
***
“Mbak? Ini benaran Chef Aksha Handika?” tanya Mitha pada seorang petugas admisnitrasi yang mengurusi pendaftaran dan administrasi cooking class di The Bay Bali. Mitha memegang sebuah kertas dengan daftar nama-nama chef yang menangani mereka dari masing-masing resto.
“Iya, Mbak. Tapi chef Aksha bukan di De Opera. Dia jago masakan jepang.”
“Jadi kalo saya mau pindah ke chef Aksha gimana?”
“Mbak harus pindah ke cooking class di Benihana Mbak yang memang khusus untuk masakan Jepang.
“Oke, saya pindah, Mbak!” ucap Mitha mantap, tanpa pikir panjang.
“Tapi, Mbak...”
“Saya akan bayar untuk kelas yang sebelumnya, Oke?”
Agak sedikit ragu, perempuan itu pun mengangguk sambil berkata, “baiklah kalau begitu.”
***
Jam dua siang adalah waktu yang Mitha pilih untuk cooking classnya. Namun ia sudah berada di Benihana sejak jam satu sambil menikmati sedikit hidangan di sana sebelum waktu cooking class itu tiba.
Jam satu pun tiba, dan seorang chef yang bernama Aksha Handika muncul dari dapur. Dengan wajah melongo seperti melihat sesuatu yang ajaib.
Mitha berjalan cukup terbata ke depan. Ia memiringkan kepalanya ke kiri dan ke kanan beberapa kali dengan gerak pelan. “Chef Aksha?” tanyanya dengan dengan nada sedikit ragu.
Aksha memindai perlahan tubuh wanita di depannya itu.
“Ini Askha Handika yang dulu sempat sekolah di SMP Pegangsaan?”
“Kamu..., Mitha?”
Mendengar itu, Mitha langsung berlari kecil ke depan. Setengah canggung, di peluknya lelaki itu sewajarnya.
“Nggak nyangka ketemu kamu di sini. Pantesan, kemarin aku ngeliat kamu di Masjid loh. Ternyata beneran kamu. Kamu..., beda banget dari terakhir yang aku lihat.”
“Oh ya? heh, ngapain di Bali? Sendiri?”
“Something trouble. Lagi mumet aja pikiran. Heh, Seriously, is it you?"
"Kenapa? Aku jauh lebih ganteng ya?"
"Hmmm.., ah mulai aja yuk masak-masaknya," ajak Mitha, mengalihkan pembicaraan.
"Kenapa? Aku jauh lebih ganteng ya?"
"Hmmm.., ah mulai aja yuk masak-masaknya," ajak Mitha, mengalihkan pembicaraan.
Aksha mengangguk cepat dengan tangan yang mempersilahkan Mitha untuk masuk ke dapur.
Di dapur, Aksha segera menyetel temperatur kompor gas yang tepat berada di bawah plat besi setebal satu senti meter di depannya.
“Kita akan memasak makanan yang simpel. Dalam satu setengah jam ke depan, kita akan membuat chicken fried rice, a shrimp appetizer, shrimp, steak and an assortment of grilled vegetables,” terang Aksha sambil membenarkan beberapa peralatan. “Plus kamu akan mempelajari teknik-teknik dasar memasak dalam teppanyaki. Ready?”
“Oke. So excited...”
“Sebelumnya, makanan apa yang paling susah yang pernah kamu buat.?
“Ummm.., mie goreng!”
“Hah?” Tanggap Aksha kaget. Wajah syoknya pun ditimpali raut wajah Mitha yang dengan entengnya nyengir ala kuda. “Oke, no problem.”
“Let’s try,” ajaknya memulai.
Dengan susah payah, Aksha pun ekstra keras mengajari Mitha cara memasak di atas plat besi. Ketaktahuan Mitha pada nama-nama bumbu dan rempah-rempah adalah bencana. Alhasil waktu yang harusnya selesai dalam satu jam setengah malah ngaret menjadi dua jam lebih. Untungnya mereka berdua adalah teman lama, jam dan durasi kursus memasak kilat itu bukan lagi masalah.
Kursus itu sebenarnya didominasi oleh gerakkan Aksha, Mitha malah hanya sedikit meneruskan sesuatu yang sudah dimulai Aksha.
“So yummmmy...” ucap Mitha segera, sesaat setelah hidangan itu sudah tersaji di atas meja. Mereka kini berada di meja pengunjung.
“Jelas, dong. Yang masak kan aku. Kamu tadi cuma ikut-ikut doang.”
“Yang panting aku udah bisa trik-trik lempar alat-alat masak dan..., ini,” Mitha menunjuk pada sertifikat memasak kilatnya itu.
“Hahahah..” tawa mereka berdua renyah, bersamaan.
“Eh udah dulu ya, aku harus lanjut kerja. Lanjutin makannya,” ujar Aksha yang segera berdiri siap-siap kembali ke dapur.
“Nanti malam jadi ya?” tanya Mitha setengah teriak pada Aksah yang menjauh. Aksha hanya menunjukan jempolnya sambil memunggunginya. Menandakan bahwa ia mengiyakan ajakan Mitha tadi sewaktu dalam proses cooking class.
***
“Jadi, kamu ngerasa hidup kamu itu kayak Elisabeth Gilbert?” tanya Aksha sambil memainkan butir pasir yang ia pegang dan jatuhkan sedikit demi sedikit melalui ruas jari-jarinya. Kakinya yang telanjang dan putih itu semakin membenamkan diri di dalam butir-butir pasir. Membuatnya terlihat samar karena warna yang sama.
“That's why i'm here. Mencari ketenangan.”
“Kenapa nggak sekalian aja ke Italy dan ke India?”
“Pengennya sih gitu. Tapi.., nggak perlu. Aku sudah bisa dapat makanan super enak di Bali. Pun dapat ketenangan rohani. Aku kemarin habis ngobrol sama ustad loh di Masjid Ibnu Batutah. Hahaha rasa-rasanya tumben amat aku kayak gini,” ucapnya diiringi sedikit tawa. “Tapi satu yang belum aku dapatkan—love.”
Aksha memperhatikan jelas wajah Mitha yang tengah bercerita menghadap lurus ke pantai. Angin malam menerbangkan sedikit helai-helai rambutnya. Membuatnya tampak lebih manis. Terlebih wajahnya yang polos tanpa polesan make up itu menjadikannya benar-benar menyatu dengan alam dan pantai.
“Aku memang nggak kepikiran ke situ sih,” lanjut Mitha. “Tapi siapa sangka kan? aku di sini bergelut dengan eat, menjadi lebih percaya dalam pray. Dan harusnya sih ada love juga biar afdol. Hahaha—kidding, aku cuma mau liburan. Menenangkan diri. Nggak mau ingat-ingat dulu deh soal love.”
“Kamu perlu menunggu seseorang untuk menghapus kesedihanmu.”
“Tentu. Namun tak akan secepat itu. Aku harus lebih berhati-hati sekarang. Banyak lelaki brengsek di luar sana,” ucapnya sambil memiringkan wajah, menjawab tatapan Aksha yang sedari tadi lekat melihatnya.
“Tapi aku bukan lelaki seperti itu, kan?” Aksha bertanya dengan wajah penasaran.
“Mana kutahu. Hahaha.” Mitha sedikit cekikikan sambil membenamkan mata sipitnya yang menerupai sebilah sabit.
Aksha ikut tertawa datar. Ia memalingkan wajahnya ke bawah. Ke tumpukkan pasir di kakinya. Ia diam dan kembali memainkan pasir-pasir itu, lalu membiarkan angin malam sedikit menghiasi kebisuan di antara mereka untuk sejenak. “Sebulan lagi aku habis kontrak di sini,” ucapnya kemudian. Masih dengan wajah merunduk. Lalu ia kembali mengangkat wajah dan melirik ke arah Mitha yang tengah menegadahkan kepalanya ke arah langit gelap yang hanya terhiasi sedikit bintang itu. “Aku mungkin akan pindah ke restoran di Jakarta. Nanti kamu harus ke sana, ya.”
“Oh ya? Kenapa gak memperpanjang yang di Bali aja? Keluargamu kan sekarang di sini?”
“Karena aku baru saja dapat jawaban. Aku harus ke sana. Harusnya kamu senang dong. Kan bisa ketemu aku terus dan makan masakanku tiap hari.” Aksha sedikit menyenggolkan bahu kanannya ke bahu kiri Mitha. Mereka kembali menghamburkan senyum, bersamaan dengan debur ombak yang semakin tentram.
***
“Is it true?”
“Yes,” jawab Aksha singkat. Ia dan Mitha kini tengah berada di restoran baru tempat Aksha bekerja di Jakarta. “Kau tahu? Sejak kukatakan ‘tunggu seseorang yang akan menghapus kesedihanmu’ waktu di pantai itu, secara tak langsung aku mengatakan.., tunggu aku yang akan menghapus kesedihanmu.”
Mitha melihat tatapan mata Aksha yang teramat tulus. Ia melihat sorot yang tak ditemukannya pada Andy—mantan kekasih yang membuat hidupnya kacau.
“Kuharap aku tak sedang melihat dengan tatapan yang buta. Aku tak ingin tatapan yang kugunakan untuk Andy dulu kembali ada di mataku. Aku ingin melihat kejujuran.” Raut Mitha sedikit mengendur.
“Mataku ini tulus. Sudah kubilang kan, saat SMP dulu, ada perasaan cinta monyet terhadapmu yang nyatanya masih aku bawa sampai dewasa. Walaupun aku sudah bisa melupakannya. Tapi begitu kamu muncul kembali di hadapanku, ternyata perasaan itu masih ada.”
Mitha tersinyum tipis sambil mengaduk-aduk jus melon di depannya yang tinggal sedikit itu.
“Dan sekarang, sampai-sampai aku harus pindah restoran ke Jakarta ini.., cuma karena pengen lebih dekat sama kamu. Sudah kubilang kan waktu itu. Aku sudah mendapatkan jawabannya. Aku memutuskan untuk ini.”
“Aku.., mungkin harus memikirkannya lebih dulu. Matang-matang.”
“Yes, but i won't dissapoint you as your ex did. Bukankah Liz pernah berkata ‘I deserve to be happy’ waktu memperoleh kebahagiaannya kembali. Kurasa kamu pun harus seperti itu.”
“Of course, i deserve to be happy.”
“With me?”
Mitha terdiam seketika. Ia memindai lekat-lekat wajah yang tampak menanti jawaban itu. Pikrannya banyak menyimpan kecamuk, banyak pertanyaan, banyak pertimbangan. Namun akhirnya ia harus memutuskan pada satu jawaban dengan begitu cepat.
“With you,” putus Mitha pada akhirnya, menerima Aksha.
“Kamu nggak trauma dengan pernikahan, kan?”
“Hingga orang yang sungguh-sungguh tulus dan jujur datang, lalu bisa mengembalikan nilai indah sebuah pernikahan.”
“Dan itu aku.”
Mereka bersitatap dengan saling melempar senyum. Agak canggung. Namun masing-masing menyimpan debar yang tak biasa.
Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Proyek Menulis
Letters of Happiness: Share your happiness with The Bay Bali & Get
discovered!
Komentar
Posting Komentar
Bercuap here!