The Itinerant Photographer

Waktu SMA kelas tiga dulu, aku pernah mendapati seorang fotografer keliling beberapa kali tengah mengayuh sepedanya di jalanan sekitar kampung, lengkap dengan kamera SLR tuanya. Beliau berkeliling tanpa suara, tak selayaknya yang seorang penjual barang atau penjual jasa lakukan. Ia hanya diam tanpa berusaha menawarkan jasanya. Wajahnya tampak tak terlalu senang, tapi juga tak bisa dibilang sedih. Sulit untuk menebak apa yang ia rasakan. Air mukanya seperti tak terjamah mata dan sulit dibaca hati *halah*.
Karena
sudah lima kali lebih mendapatinya berkeliling melewati depan rumahku, lantas
aku menanyakan hal ini pada ibuku. Aneh
bukan, melihat seorang fotografer keliling di era digital yang serba instan
ini? setiap orang hampir memiliki ponsel. Kurang dari satu juta, mereka, setidaknya, sudah bisa mendapatkan ponsel dengan kualitas kamera dua sampai tiga
koma dua megapiksel. Ibuku bilang, katanya orang itu adalah fotografer
keliling sejak ibuku masih remaja dulu. Pak Kemal namanya. Beliaulah orang yang
berjasa membuat keluargaku memiliki banyak memori gambar dalam bentuk glossy
photo paper persegi panjang.
Jadi
Pak kemal ini adalah orang yang dari tahun 80an sudah menjadi primadona
penyedia jasa foto se-kecamatan. Foto studio masih sulit ditemui saat itu,
ditambah lagi, tidak afdol untuk mengabadikan foto tanpa wajah rumah dan
halaman rumah sebagai latarnya. Berkatnya, banyak momen di keluarga termasuk saat
ibuku masih berusia dua puluh tahunan dan saat aku kecil terabadikan lewat
gambar segi panjang hasil dari kamera tuanya. Lantas setelah bertahun-tahun tak
terlihat, kenapa dia tiba-tiba muncul?
Aku
sempat bertanya-tanya, apa ada yang terjadi pada hidupnya sampai-sampai ia
kembali berkeliling kampung mengayuh sepedanya berkilo-kilo meter untuk
menjajakan jasa foto. Dan apa yang terjadi? Pasti sulit baginya untuk mendapat
pelanggan di era digital abad dua puluh satu ini. Aku sempat membuat satu
dugaan, ‘apa mungkin dia punya masalah dengan keuangan?’ Rasanya miris sekali
melihatnya. Mudah-mudahan dugaanku salah. Mudah-mudahan ia hanya rindu dan ingin
mengenang masa lampau yang begitu indah dengan lensa kamera dan sepedanya.
Thanks for these picture..
keren kak :')
BalasHapussemoga kedepannya diberi rezeky yang banyak pak kemal..!! amin.. banyak moment yang dibuat oleh jepretannya yang menjadi kenangan dimasa sekarang atau yang akan datang...
BalasHapusWah..
BalasHapusFoto-foto wktu aku masih bayi dulu udah tersingkir entah kemana...
sayang sekali di tempatku jarang tukang foto keliling
Gue sih, ada. foto2 jaman gue kecil. Tapi dari jaman gue SD sampai SMP. Gak ada satu pun gue punya. Nyesek
BalasHapusalhamdulillah, ktika gue masih kecil bokap udah beli kamera. kamera jadul lah pokoknya. yg nyetak fotonya pake gulungan itu tuhh.... ga tau dah namanya apaan.
BalasHapussemoga beliau di panjangkan umur dan rezekinya. hobi yg menjadikan pekerjaan itu, rasanya enak bnget soalnya.
@Ahmad Fuazi. Setujuu. Sekeras apapun, asalkan datangnya dari hati, pasti kita sanggup bertahan. Oh foto itu, aku juga punya, tp waktu SD dulu. Waktu bayi masih mengandalkan foto keliling. hihi
BalasHapus@Heru dan Yulia Duh sayang banget. Padahal kenangan satu foto aja bisa mengenang banyak cerita. Haha
@Dimas. Amiin. Pray for him :D
Waahh pak Kemalnya berjasa banget yaakk.. meskipun zaman udah berganti... beliau masih bertahan dengan profesinya yg udah puluhan tahun itu.. btw foto2 yg dipajang di atas tahun berapaan tuh *kepo*..
BalasHapus@Siska. Iya, berjasaaaa banget. Ummm agak lupa sih tepatnya. tapi kayaknya dua puluh tahunan lalu.
BalasHapus