Membaca Buku Sebelum Dan Sesudah Mencintai Buku


Source : here

Dulu, sebelum saya berani mengeluarkan banyak uang untuk membeli buku, satu-satunya tempat yang saya andalkan untuk dapat memenuhi keinginan saya membaca adalah Perpustakaan 400. Tempat itu adalah perpustakaan daerah yang memiliki koleksi novel dan bacaan sastra yang lumayan banyak--kalau kita bisa jeli mencarinya. Jaraknya hanya kurang lebih seratus meter dari kampus saya. Selain sebagai tempat bersemedi saat mengerjakan tugas, tempat itu juga jadi salah satu tempat favorit saya yang harus dikunjungi seminggu sekali setelah pulang kuliah. Meskipun tempat itu agak berdebu dan terkadang panas, tapi dengan koleksi yang lumayan, tempat yang cukup luas, juga peraturan-peraturan seperti; masa pinjaman seminggu dan bisa diperpanjang sampai tiga minggu kemudian, denda lewat masa perpanjangan hanya Rp. 300 perhari, dan maksimal boleh membawa tiga buku, tempat itu adalah salah satu pelarian dan surga bagi saya.

Dari tempat itu, saya berhasil meminjam buku-buku yang sampai sekarang masih membekas, seperti To Kill A Mockingbird, The Da Vinci Code, The Godfather dan 24 Wajah Billy. Saya masih ingat bagaimana saya menikmati The Da Vinci Code yang addictive; To Kill A Mockingbird yang meski membuat saya bosan di awal, tapi membikin perasaan hangat saat menyelesaikannya; 24 Wajah billy yang memuaskan; dan The Godfather yang memukau. Persamaan dari keempat buku tersebut adalah, saya membacanya tanpa menunggu saya ingin membacanya. Saya membacanya di angkot, saya membacanya saat bosen dengan materi kuliah, saya membacanya saat nongkrong di kantin dengan teman-teman sekelas yang tak bisa saya ikuti obrolannya karena yang mereka bicarakan hanya soal game online. Saya juga membacanya saat menemani dua teman kos lain main catur sampai tengah malam. Tidaak seperti sekarang yang manja, dikit-dikit butuh tempat ngadem buat sekadar baca 50 halaman.

Selain hal-hal yang saya sebutkan di atas, ada perbedaan mendasar terkait kebiasaan saya membaca buku dulu dan sekarang. Saat baru pertama kali rutin membaca, saya tak begitu memusingkan sebuah referensi. Tak peduli siapa penulisnya. Saya masih jauh untuk mengenal dunia mereka. Meski saat itu saya sudah tergabung kedalam grup pembaca buku, saya tak begitu terpengaruh dengan embel-embel dunia literasi. Saya membaca untuk kebahagiaan saya. Bukan untuk memuaskan rasa penasaran. Bukan untuk masuk lebih jauh ke dalam dunia tersebut.

Dan rasa penasaran itu muncul sejak materi English Literature dimulai. Saat dosen memaksa kita membaca rangkuman periodesasi sastra Inggris, di situ saya mengenal banyak nama-nama penulis dan karya-karya besarnya. Bahkan saya mengenal dan menyukai mereka sebelum membaca karyanya. Dari ketertarikan itu, rasa dahaga untuk membaca satu persatu karya mereka, menggerogoti keinginan saya lebih dalam. Mungkin hanya sekadar ingin tahu. Mungkin karena tak ingin melupakan hal besar yang mereka tulis. Tapi sayangnya ketertarikan itu perlahan-lahan menghilangkan kenikmatan saya yang sederhana saat membaca buku. Semenjak mulai terobsesi, saya merasa ada yang hilang. Saya lebih mencintai buku, dibanding mencintai membaca itu sendiri.

Saya teringat salah satu buku dari Alisson Hoover berjudul 'The Man Who Loves Book Too Much,'. Semakin orang itu mencintai buku jauh dari mencintai 'membaca', orang itu kemungkinan bisa melepas dua hal yang sangat berkaitan tersebut. Di buku tersebut, si penulis mengenalkan pada saya tokoh seorang pecinta buku dengan obsesinya yang aneh. Meski obsesi dan keanehan Gilkey--tokoh dalam the man who loves book too much--jauh dari seorang bibliomania atau abibliophobia pada umunya, namun hal tersebut mengingatkan saya pada kecenderungan untuk lebih mementingkan kegiatan menumpuk, membeli, dan mengenal buku lebih dari kegiatan 'membacanya' itu sendiri. Dan hal itu agak menyedihkan, mengingat kali ini, saya lebih mencintai sebuah benda fisik berbentuk kotak persegi panjang itu dibandingkan apa yang seharusnya menjadi fungsinya.

Komentar

  1. Aku pun kangen masa-masa membaca dengan bahagia... :) Dulu aku cuma baca buku yg aku suka. Ritualku biasanya masuk ke perpus, cari pojokan sepi bawa bbrp buku, buka sekenanya, cari yg bisa benar2 menarikku ke dalam ceritanya...baru deh dibaca. Jd beneran suka dan bahagia bacanya... Klo skr, kebanyakan baca krn penasaran sm referensi, dan kdg ga minat pun ttp dibaca... 😅 lbh karena khawatir ada hal2 bagus yg aku lewatkan, pdhl dlu sih selow aja, ga suka ya ditinggal... 😢 that's my case... *malah curcol di sini 😆

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ituuu.. iya.. ituuu bgt tan yg jadi poinnya... 😂😂

      Hapus
  2. wah, kegiatan yang bagus ya...

    1q84 udah sampe mana? :p

    BalasHapus
  3. Wah, postingan ini berasa kaya msh writing celence ya... klo liat kolom komentar ada kelayand kaleyand.. wkw

    BalasHapus

Posting Komentar

Bercuap here!

Postingan Populer