Review Luci Lucifer

Genre : Horor
Penulis : Bella Vanilla, dkk.
Tebal : 210 halaman
Penerbit : De Teens (Divapress)
Cetakan Pertama : Desember 2013
Harga : Rp 32.000
In this review, i’m not going to
give you a synopsis of all these short stories. I just want to write of what i
though about this book. Yeah, i just did a different review than my habit that
always make a synosis as a first thing to write before disscuss it.
Novel
antologi berisi empat belas cerpen horor ini adalah naskah pilihan dari lomba
Teen Horornya penerbit DIVAPress yang sempat aku ikuti. Dan ya, you can guess
it easily. I’m not a part of them. Saat itu saya mengirim cerpen horor yang
baru pertama kali saya buat untuk lomba ini, and yes, not really good anymore.
Even that’s not good.
-
Lucy Lucifer by. Bella Vanilla –
Sebagai cerpen yang terpilih menjadi
judul buku, pasti ini pilihan terbaik dari para juri dong. And of course, i
expected too high on this tittle. But it dissapointed me. Jalan ceritanya
klise. Banyak adegan yang ketebak dan sangat mengingatkan kita pada
cerita-cerita horor di sinetron atau film indonesia. Setting rumahnya itu loh yang membuat imajinasi mengarah pada
adegan-adegan horor di sinetron. Meskipun penulis memberi penjelasan di akhir cerita
tentang apa yang sebenarnya dialami tokoh utama. Tapi itu tak cukup menjedarkan
jalan cerita yang sudah disusun sedemikian rupa dari awal ini. Mind to rate ya?
sorry, 6,5.
-
Noir by. Anggi Pradipta –
Better than first one. Dari awal
sudah ngasih banyak pertanyaan buat pembaca. Sudah banyak misteri yang disusun
untuk penulis kuak di akhir cerita. Adegan malaikat bersayap di sini
mengingatkan saya pada adegan si David dan ibunya di novel Pintu Harmonika.
Hahah just lil bit sih. Good for that story, but not good for that sense of
horor that writer gave. Misteri iya, tapi bikin merinding nggak. Ide cerita
iya, tapi horor nggak. So i give this one 7,5.
-
Gloomy Sunday by. Arintya Widodo –
It was the one who changed my
adrenalin. This is what we called horor. Ide ceritanya mengambil dari lagu Gloomy
Sunday yang seharusnya dapat kita tebak arah ceritanya dengan mudah. Tapi
penulis dengan cukup baik memberikan akhir cerita yang shocking. Penulis bisa
meramu jalan cerita dengan sedemikian rupa sehingga pembaca benar-benar terbawa
situasi. Ada waktu dimana saya benar-benar merinding saat baca cerpen ini
(kebetulan bacanya malam-malam jam dua belas lebih) sampai-sampai saat ada SMS
masuk langsung terjingkat. 8,5
-
Temani Jiwaku by. Arrin M. Putri –
Ide ceritanya bagus, kaya azoth
(Tokyo Zodiac Murders) dan Fankenstein. Tapi sayang terlalu kasar. Meramunya
kurang cantik dan halus. Saya cukup terhibur dengan gaya menulisnya yang khas
teenlit banget. Loncat sana loncat sini dengan dinamis tanpa detil yang
berbelit-belit. Tapi sayang banyak logika yang menodai cerita. Kenapa
teman-temannya yang dibunuh itu reaksinya kaya nggak kenal sama pembunuhnya
padahal itu sahabat sendiri? Kenapa ada adegan Kulina sama Mawri berantem di
toilet kalau emang bukan Kulina yang membunuh? Kenapa orang yang tertusuk
gunting di dadanya bisa sembuh dalam hitungan kurang dari seminggu? kenapa
Kulina nusuk Selvi kalo emang bukan dia pelakunya? Kenapa adegan yang
sebelumnya selvi udah pergi les tiba-tiba langsung ada di kelas saat Mawri
ngadu? Kenapa kenapa oh kenapa? Menurut saya sih, kalau emang mau nyembunyiin
sosok pembunuh, ya jangan pake sosok misterius yang benar-benar clueless yang
kontras dan malah bikin logika ternodai. Dan kalau penulis mau mengecoh pembaca
untuk mengarahkan dugaan pada tokoh tertentu, ya jangan dibikit terang gitu.
Ini malah ada adegan bahwa si tokoh pengecoh melakukan kekerasan. Ah i remarked
too much. Sorry 6,0.
-
Hanya Aku by. Daemie –
Awalnya aku bingung sama cerpen ini.
Entah mau dibawa kemana. Sempet nebak beberapa kali arah jalan ceritanya dan
salah. Awalnya nggak suka plus sedikit underestimate sama endingnya. Eh
ternyata penulis lumayan ngasih sesuatu yang cukup jedar buat akhir ceritanya.
Idenya cukup bagus. Mengambil latarbelakang tentang kelainan psikologis,
skizofrenia. Penulis nggak nyebutin sih apa yang dialami si tokoh utama. Tapi
tanpa dijelasin pun, ini sudah jelas-jelas skizofrenia, namun dalam kemasan
horor. Cuman sayangnya ceritanya nggak horor. Semacam teka-teki misteri yang
ujungnya rasional. 8 for this one.
-
Gedung Museum Angker by. Eko Hartono –
Ide ceritanya agak old school.
Awalnya pun dibuka dengan adegan mimpi dikejar-kejar setan. Jalan ceritanya sih
udah horor banget. Tapi terlalu blak-blakan dan nggak bikin penasaran.
Endingnya lumayan, tapi bisa ketebak. Satu-satunya yang paling aku nikmati
adalah cara penulisannya yang ringan dan dinamis. Loncat sana-sini dengan
ringan. Ngalir kaya air sungai di gunung. Keliatan kaya effortless banget penulisnya
bikin cerpen ini. Dan ternyata pas liat bionya, oh.., Mas Eko ini kontributor
yang paling senior toh. Dia kelahiran 69 dan sudah banyak pengalaman menulis.
Pantas aja. Tapi sayangnya ide ceritanya sendiri terlalu old school dengan
penyajian yang gak terlalu bikin penasaran. 7,5 deh.
-
Ruang di Balik Ruang Tak Bernyawa by. Evi Sudarwanto –
Alurnya maju mundur, diacak-acak
kayak puzzle. Dari awal sudah bikin pembaca penasaran dan terus penasaran
sampai benar-benar nemuin klimaks dan kejutan di akhir cerita. Tapi sayang, pas
sudah akhir, saya kok ngerasa, “eh? Udahan? Lha!”. Alurnya sudah keren, tapi
sayang pas misteri di awal cerita kayak Cuma tempelan doang. Nggak ada kaitan
secara langsung sama alur utama. Endingnya pun kurang nonjok. Malah saya
bingung sama adegan terakhir, yang katanya polisi sudah meriksa kamar si
pelaku, tapi kok pelakunya masih berkeliaran? I rate this one 7,5.
-
Teror by. Melati –
Ini bikin ekstra penasaran banget.
Alurnya maju, lurus dan teratur. Cuma ada sekilas prolog aja di awal sebagai
clue dari plot utama. Cara si penulis membuat gerak-gerik tokoh utama yang
sedang mencari tahu misterinya bikin pembaca betah ikut mencari tahu juga.
Cuma, lagi-lagi aku nggak terlalu suka endingnya. Masalah utamanya agak terlalu
klise. Padahal potensi buat dibikin beda dari yang lainnya besar banget loh. 8
deh.
-
Wajah by. Mertha Sanjaya –
Cerpen ini sebenarnya udah bikin
penasaran. Sayang, dari tengah ke akhir cerita saat misterinya terbuka, adegannya
terlalu gamblang. Kita disuguhi adegan-adegan khas thriller yang sayang nggak
bikin deg-deg-an. Semacam adegan bunuh-bunuhan yang ya.. begitulah.
Salah satu contoh adegan yang bikin
deg-deg-an adalah di novel partikel – Dee saat si Zahra diajak jalan-jalan
ayahnya kebukit malam-malam terus dia ditinggal di sana. Entah kenapa adegan itu
sukses banget negbangkitin adrenalin pembaca dari yang biasa aja sampe
ketakutan secara halus banget. 7.
-
Sahabat Sampai Mati by. Nathalia Theodora –
Ini agak mirip sama cerpen
sebelumnya yang Temani Jiwaku. Tentang sahabat yang menagih janji sahabtnya
untuk mati bersama. Ide ceritanya kuat, tapi logika dan alasan dibalik
kematiannya kurang kuat. Ngambang banget. Banyak adegan penampakan kayak di
film-film yang berlebihan. Si tokoh berapa kali mendapati bayangan di koridor
sekolah, terus di pojok kelas, terus di tangga, terus dengar suara di WC. Kebanyakan
dan keburu ketebak. 7,5.
-
Interview Kematian by. Risna Utami –
Agak pusing sama cerpen ini. imaginasinya
bagus, tapi saya ngerasa banyak yang janggal. Mungkin ntar mau baca lagi deh. Sementara
dilewatin aja dulu :D
-
Klimaks Jatinga by. Stella Yohanna –
Dibandingkan cerpen-cerpan yang
lain. Mungkin plot di cerpen ini yang paling lurus-lurus aja. Walaupun di awal
cukup ngasih satu adegan penarik, tapi selanjutnya plot maju terus. Saya lagi-lagi
kurang suka dengan adegan kejar-kejaran di sini. Latar belakang ceritanya juga
agak klise dengan motif ingin hidup abadi dan menjadikan garis keturunan
keluarganya sebagai tumbal. 7,5 deh.
Oh
iya, penulis cerpen ini kelahiran 1999 loh. Saya yang kelahiran 1992 jadi
ngerasa tertinggal banget -___-
-
The Grudge by.Wiwit N.A.A. –
Idenya bagus. Kalau dikasih judul
terror juga cocok. Teror yang dikasih kurang terlalu ngasih adrenalin. Jadi adegannya
lagi-lagi berasa stagnan. Nggak tahu deh jadi mau komentarin apa lagi. Nggak ada
yang spesial, dan kekurangannya pun rata-rata udah banyak saya jelasin di
cerpen-cerpen sebelumnya -_-. 7.5 deh.
-
Lagu pengantar Tidur by. Zephyr –
Ini cerpen terakhir dan saya nggak
tahu mau komentar apa lagi. hahaha. Ini agak mirip sama Ruang dibalik Lukisan
Tak berkepala yang make flashback cerita dibalik misteri yang dialami si tokoh.
Ummm sebagai pembaca, ada satu adegan yang cukup bikin naik bulu kuduk. 8 deh.
---
At least bukunya agak kurang impressive.
Emang sih bikin cerita horor lebih susah dibanding cerita romantis yang gampang
bikin pembaca ikut terhanyut-hanyut. Dari semua cerpen yang ada di antologi
ini, aku cukup suka sama teror dan noir, dan paling suka sama Gloomy Sunday.
Halo!
BalasHapusTerima kasih buat review-nya!
Kebetulan tadi saya iseng-iseng search nama saya sendiri di google, dan ketemu review kamu :D
Saya akan pake review ini sebagai bahan ajaran supaya kelak karya-karya saya jadi lebih baik :D ini cerpen pertama saya yang diterbitkan, soalnya :)
Terima kasih :D
Sama-sama.. hehe.. ditunggu karya selanjutnya loh ya.. Buku ini lumayan jadi pembelajaran buat nulis tema horror.
HapusHalo Heru!
BalasHapusSaya baru baca review buatanmu. Makasih ya sudah meluangkan waktu untuk review antologi kami ^o^, makasih juga buat kritik dan sarannya...pembaca kritis seperti kamu bikin aku lebih bersemangat lagi dalam menulis. Yosha! Sukses buat Heru juga~! :3
Sama-sama Zephyr... Thanks ya :D Semangat juga buat kamu ..
BalasHapus