Day21 Three Lessons You Want Your Children Learn..

Source : here

Mencontek dari Tansis, saya akan menghapus frasa 'from you' dalam postingan kali ini. Semata-mata karena saya merasa belum pantas disebut sebagai sumber belajar bagi anak saya suatu saat nanti. Postingan ini lebih kepada keinginan polos dari seorang calon ayah *geli sendiri*. 

Akan jadi seperti apa saya kelak kalau sudah punya anak? membayangkannya, yang ada dalam benak saya adalah sosok yang protektif, sedikit banyak menuntut, terlalu takut. Sebagai seorang yang pernah melihat masa kanak-kanak dan remaja dalam lembaran hitam putih yang begitu jelas, semua orangtua pasti ingin menjauhkan anak mereka dari semua sisi hitam yang pernah dilihatnya. Saya membayangkan diri saya yang seprti itu: takut kalau suatu saat nanti anak saya mengalami hal yang sama, takut mengalami kesedihan yang sama,  takut dengan keterpurukan yang mungkin juga menimpanya. Intinya kita tidak ingin membayangkan anak kita merasakan semua itu. Meski saya tahu itu tak sepenuhnya baik. Dan saya harap saya tak sepenuhnya menjadi seperti yang saya bayangkan suatu saat nanti. Sebab tak ada pelajaran yang didapat tanpa mengalaminya sendiri bukan? 

Omong-omong tentang tema kali ini, saya teringat postingan Ernest Prakasa beberapa bulan lalu, tentang guru sekolah yang dipenjarakan salah satu orang tua muridnya. "kalau guru berani sentuh anak gue, gue seret ke polisi," tulisnya, kurang lebih. Kalimat tersebut terasa sangat congkak. Berani mengabaikan banyak hal. Saya tahu kekerasan apa pun dari seorang guru tak bisa dibenarkan. Tapi siapa kita yang berani membuat asas pada hal yang belum terjadi,  yang salah benarnya pun masih belum jelas *ini gue ngomong apa sih*. Siapa yang tahu seberapa bandelnya anak kita di sekolah,  sehingga guru tersebut--yang bagaimanapun tak bisa kita benarkan--bisa hilang kesabaran dan mecubitnya?--iya, hanya mencubit misal. 

Pemikiran seperti Ernest bisa disimpilkan sebagai pembenaran terhadap apa pun yang anak kita lakukan di sekolah. Oke, mungkin tidak tepat seperti itu. Tapi apa kita sebagai orang tua cuma mau orang lain memperlakukan anak kita seperti yang kita harapkan,  tak peduli sebandel apa pun dia? Dan tindakan mereka--terlebih guru--yang berani menggunakan kekerasan atas nama bagian dari pendidikan moral, akan kita penjarakan? Sebelum berpikir jauh seperti itu, kenapa tak berpikir cara mencegahnya? kenapa tak berusaha untuk meminimalisir kemungkinan anak kita berkelakuan bengal di sekolah. Kenapa tidak berpikir bahwa kitalah yang harus bertanggung jawab terhadap tingkah laku anak kita? Kenapa tak kita coba perbaiki saja apa yang bisa kita perbaiki? guru mencubut, atau ekstrimnya, menampar, bukan tanpa sebab kan? Kalau murni kekerasan, itu lain cerita. Jadi, kenapa tidak kita coba amankan saja barang yang kita punya, sehingga orang lain tidak akan berpikir mau mencurinya. Bukannya langsung menodongkan pistol untuk berjaga-jaga. Kalau salah tembak kan juga berabe.

Balik lagi ke tema utama. Jadi apa yang saya harapkan untuk anak saya pelajari. Saya akan menconteknya lagi dari Tansis, beserta quotesnya juga saya cantumkan, "it’s okay to fall. it’s okay to make a mistake, as long as you own it, you have a courage to admit it, and don’t stop at that, but keep learning." Karena saya berkali-kali gagal, dan tak ada gunanya untuk selalu menyesal pada hal yang itu-itu saja, maka penting untuk tidak berhenti lantaran satu, dua bahkan seribu kegagalan *ya jangan seribu juga sih*. Terlebih, kegagalan di salah satu jalan bukan berarti kegagalan juga di jalan yang lain.

Yang kedua, saya ingin anak saya bisa bersaing, tapi bukan untuk selalu mejadi pemenang dan menyombongkan dirinya. Saya ingin dia belajar untuk mencintai proses belajar. Saya banyak menemukan orangtua yang sangat score-oriented di tempat saya bekerja. Beberapa dari mereka meminta agar tempat kami menyelingi dengan materi pelajaran sekolah secara terus menerus agar anak mereka dapat meningkatkan nilai. Itu tidak salah. Tapi kalau beberapa hal menjadi sedikit kacau karenanya? Terlebih anak makin terbebani? Intinya, proses belajar yang ingin kita tekankan beserta aktivitas-aktivitas di dalamnya, malah harus terhalang karena saking fokusnya mengejar nilai. Kalau sudah begitu, mereka akan lupa untuk mencintai prosesnya.

Terakhir, saya ingin anak saya belajar dari apa pun.  Belajar untuk menemukan kebenaran di mana pun. Saya ingin dia tidak menjadi arogan untuk kebenaran yang dia anggap benar. Saya tidak ingin dia menjadi seperti manusia-manusia yang seperti sekarang ini, yang saya sering temukan. Manusia yang gampang menghakimi dan menganggap dirinya selalu benar. Saya ingin dia belajar dari manapun, tanpa melepas keyakinannya.

Komentar

  1. Anjir... gue suka postingan iniii =))
    terutama yang bagian penghakiman orang tua ke guru--dalam kasus ini dicontohkan dari Ernest. Gue mau muji tapi kok geli sendiri yaaa :/

    BalasHapus
  2. Aku kok terharu ya, idem tan gi...kamu udah cocok jadi Bapak, Ru :')

    Dan btw itu kok sedih ya omongannya ernest, padahal aku suka dia ih pas meranin keng kie di rudy habibie #eh. But yah, aku setuju statement itu terasa kepedean :(

    dan idem piah juga, mo muji tapi kok geli sendiri yak wkwk... ditunggu tulisan barunya.

    BalasHapus

Posting Komentar

Bercuap here!

Postingan Populer