DAY 2 Things That Makes Me Happy

Banyak yang bilang kalau semakin dewasa, kebahagian menjadi barang yang sulit didapatkan. Rasanya tidak juga tuh. Perasaan bahagiaku bisa tiba-tiba muncul saat pesanan gofood datang. Begitu juga saat pulang kerja, terus mandi, lalu santai-santai sambil nonton netflix. Atau saat menghabiskan hari minggu dengan berjam-jam tidur di kasur dan bolak balik buka instagram, youtube, twitter, whatsapp. Atau seperti minggu lalu, saat saya terdorong untuk melakukan sesuatu yang belum pernah dilakukan sebelumnya; tiduran di atas genteng sore-sore sambil mendengarkan Gravity-nya Sara Bareilles. Sering juga perasaan bahagia itu muncul tanpa tahu kenapa. Sebenarnya bukan kebahagiaan yang susah didapat, tapi kesedihan saja yang semakin banyak. Beban yang semakin bertambah, tekanan yang tidak bisa diusir.
Mungkin hal-hal yang menguras energi dan emosi ini terlalu menguasai pikiran dan perasaan sampai-sampai kita mengesampingkan perasaan senang yang sebenarnya masih sering kita dapatkan. Entah mana yang lebih mendominasi, tapi rasanya kebahagiaan jadi tidak murni lagi. Kita merasa seperti terancam. Saat merasa bahagia, kadang pikiran membayangkan masalah baru, kesedihan baru, kemarahan baru yang bisa saja muncul dalam tiga hari lagi atau bahkan satu jam lagi. Bahagia selalu dibayang-bayangi.
Tapi, lupakanlah hal-hal tersebut. Bagaimana pun, aku harus mengapresiasi perasaan bahagia; baik itu perasaan lepas tanpa beban, atau saat kita merasa bahagia tanpa menyadarinya. Menyambung dari tema kemarin tentang kebutuhan untuk menyalurkan sisi ektrovertku. Hal itu aku dapatkan melalui pekerjaanku. Aku bisa meluapkannya tanpa perlu merasa terganggu dan khawatir. Bisa dibilang, ini adalah salah satu bentuk pelarianku untuk memenuhi kebutuhan berbicara banyak, bercengkrama, menjadi seseorang yang didengarkan. Waktu yang kuhabiskan dengan anak-anak selalu menjadi momen yang menyenangkan. Pujian-pujian kecil dari mereka membuatku tersentuh. Saya merasa senang saat mereka benar-benar mendengarkan, saat mereka bisa melihat apa yang sebenarnya coba saya sampaikan dalam bentuk yang lain, saat hal-hal kecil yang saya usahakan dapat dipahami. Meskipun hanya sementara. Meskipun mereka akan melupakannya begitu dewasa nanti.
Dengan datangnya musim pandemi, kebahagiaan itu sedikit hilang dan tidak sama seperti sebelumnya. Kita terpaksa melakukan pembelajaran jarak jauh. Meskipun mengajar secara langsung menghasilkan capek yang luarbiasa dan bisa bikin tenggorokan serak setiap hari, tapi mendapati diri tidak bisa bertemu langsung, berteriak, dan tertawa tanpa terhalang layar komputer, menyadarkanku betapa mengajar dan bertemu anak-anak ini bisa memberi kebahagiaan yang tidak bisa kudapatkan dari hal lain.
Kok... Aku setuju, ya. Perasaan terancam, belum2 udah mikir gimana di masa depan, udh mikir beban ina inu, jd ngerasain bahagia ga bisa lepas. Ga bisa lega... Gini amat ya jadi orang dewasa. Tp ga mau jg balik anak2, susah mau jajan mau apa2 dilarang mulu. #heh
BalasHapusakutu suka penasaran gimana guru-guru di era pandemi ini ngebimbing murid tanpa sentuhan langsung. pasti rasanya beda, kayak ada yang kurang... sekaligus kadang kayak bikin naik pitam. iya nggak, si?
BalasHapus