Day 4 Places I Want to Visit
![]() |
Source : here |
Setelah lulus kuliah dan dapat kerja di kota yang sama, Cirebon, aku merasa hidupku sudah ‘menetap’. Pikiran tenang, lingkungan sosial terpenuhi. Meski hanya bertahan setengah tahun di kerjaan tersebut, tapi hatiku sudah menetap di kota ini dan tidak terpikir untuk pindah. Selain dekat dengan kota tempat tinggal orangtuaku, kota ini juga dekat dengan gunung, dekat dengan pantai (meskipun hanya pantai pasir hitam yang tidak terurus), punya beberapa mall besar, kafe-kafe yang bisa jadi tempat kabur, punya perpustakaan terdekat yang meskipun berdebu tapi koleksinya lumayan untuk mengisi waiting list, ada gelanggang olahraga yang kujadikan latihan tiap sabtu dan minggu sore untuk lari, teman-teman kuliah yang masih bisa kutemui dengan mudah, dan teman kerja yang masih berhubungan baik. It was my safe zone. Yang kuinginkan ada di sini, selain satu hal; pekerjaan. Entah kenapa meski tidak pernah secara khusus bercita-cita dan berpikir untuk menjadi guru, tapi seperti ada magnet yang selalu menarikku ke arah sana. Dorongan itu semakin besar.
Keluar dari tempat kerjaan lama dan belum dapat kerajaan baru di kota tersebut, tiba-tiba aku dapat panggilan kerja dari ibukota untuk menjadi guru. Tidak ada yang kupikirkan saat itu, selain hanya, aku ingin merasakan hidup di kota besar. Kebetulan ada teman-teman dari kampus fiksi yang saat itu masih aktif ketemu. Setidaknya, aku tidak sepenuhnya asing. Setelah beberapa tahun tinggal di sini. Aku perlahan merasa kehilangan. Tentu saja aku menikmati pekerjaanku di sini dan merasakan peluang yang lebih bagus di kota besar untuk menjadi seorang guru tanpa harus menjadi PNS (sampai sekarang aku masih belum tertarik menjadi PNS meski keluargaku masih sering bertanya).
Di tempat ini, aku mulai kehilangan sesuatu; pertemanan. Lingkungan kerjaku yang pertama itu kecil, tidak banyak pilihan selain berbicara dengan orang yang itu-itu saja. Meskipun aku nyaman dan dekat dengan mereka, aku selalu merasa kurang. Standar kebahagiaanku dan lingkungan pertemananku berhenti di kota yang lama. Tahun-tahun berlalu, dan sekarang, setelah bekerja di tempat lain dengan lingkungan yang jauh lebih besar, aku tetap saja merasakan hal sama. Aku tidak bisa mendapatkan lingkungan yang kuinginkan. Aku tidak bisa mendapatkankan, katanlah, teman-teman ideal yang aku butuhkan.
Barangkali memang benar kalau kita tidak bisa mendapatkan semua hal yang kita inginkan di satu tempat; tempat kerja yang menyenangkan, pendapatan yang layak dan bahkan lebih, teman yang diinginkan dan terlebih, pekerjaan yang tidak jauh dari rumah. Lebih seringnya kita hanya mendapatkan dua hal saja, atau bahkan hanya satu hal. Mau tidak mau, orang dewasa akan selalu dihadapkan dengan pilihan-pilihan ini. Tapi aku masih memilih bertahan di kota ini meski perasaan khawatirku menjadi lebih sering muncul. Pikiran-pikiran untuk pindah ke kota lain, atau mencari pekerjaan di tempat lain dengan dalih mendapatkan lingkungan yang kuinginkan muncul lebih sering.
Jadi selalma ini, yang kupikirkan adalah tempat untuk kabur. Tempat yang bisa menjauhkanku dari pikiran-pikiran tak menyenangkan. Tapi apa aku yakin aku akan mendapatkan apa yang kuinginkan di tempat tersebut? Aku tidak ingin menebak-nebak. Tapi sepertinya, di mana pun itu, selama isi pikiranku seperti ini, aku akan terus menerus mencari tempat baru untuk kabur dan tidak ada ada tempat yang membuatku nyaman. Semakin lama aku semakin malas memikirkan ini. Mungkin aku sekarang sudah menjadi mahkluk gua yang tidak butuh bersenang-senang lagi di luar. Ditambah lagi coronavirus membuatku semakin malas melangkahkan kaki keluar selain untuk pekerjaan.
Tulisan ini tidak boleh berhenti di kesimpulan negatif.
Tapi kesimpulan positifnya belum bisa kutemukan sih. Barangkali satu-satunya sifat positif yang bisa membuatku maju ke depan adalah optimisme. Jujur saja meski pikiranku ini banyak buruknya, tapi aku bersyukur masih punya hal posifi seperti ini.
Komentar
Posting Komentar
Bercuap here!