Rene's Last Day




Source: http://blog.fastncheap.com
Kepalaku pening. Aku nggak kuat lagi berdiri ditengah terik matahari senin pagi ini.  Mataku kabur menangkap sosok pak rahmat−guru sejaharh kami−yang masih belum usai dengan cuap cuapnya di mimbar pembina. Ia masih semangat berpidato dengan topik ‘say no to free sex’ nya. Aku sedikit tersinggung. Walaupun aku tahu yang ia ucapkan bukan semata-mata untukku. Tapi aku pernah melakukannya. Aku orang yang ia jadikan bahan pidato.
            
Aku goyah. Dewi menangkap badanku yang setengah roboh. Dia memanggil anak PMR yang siaga di belakang barisan upacara. Aku dituntunnya ke ruang UKS yang tak jauh dari lapangan basket tempat kami upacara. Ditinggal sendirian disini setelah ia memberiku minyak kayuh putih dan sedikit pijatan di dahi.
            
“Perlu aku temani?” tawarnya. Aku menolak. Ingin merebahkan tubuh sendirian tanpa dilihat siapapun.
            
Pening kepalaku. Lebih menyiksa, malam kejadian itu berkelindan di benakku terus menerus. Aku setengah takut.
             
Aku memang sulit tidur akhir-akhir ini. dua minggu terakhir ini tepatnya. Bayangannya muncul tiap malam dalam tidurku. Aku dirundung rasa bersalah sekaligus takut yang perlahan menyerang sistem kekebalan tubuhku. Aku sakit karenanya. Sakit yang memusingkan, padahal kata dokter tubuhku baik-baik saja.
             
Dari luar, sayup-sayup suara pemimpin upacara yang memberi komando terdengar seperti nyanyian nina bobo. Kasur empuk UKS kian membuat tubuhku semakin nyaman. Aku tertidur....

Rene... sebentar lagi. Merebahlah disamping makamku,” aku terkesiap. Bangun dari tidurku dengan tubuh penuh keringat.
            
“Rene kamu nggak apa apa?” Dewi dan Dian muncul dari pintu UKS.
            
 “Kamu ketinggalan dua jam pelajaran loh. Sudah nyenyak tidurnya?” Dian menambahi.
             
“Hah? Dua jam pelajaran? Selama itu ya tidurku?”

Mereka berdua menganggukkan kepala.

“Aku tadi pusing banget. kayaknya aku mau pulang aja deh.”
             
“Mau aku antar?” tawar dewi yang langsung kusetujui

***

            Dewi mengantarku pulang dengan motor maticnya. Aku segera merebahkan diri diatas kasur sesaat setelah sampai di kamar kosku yang berjarak cukup dekat dengan sekolah ini.
             
“Wi.. aku takut.”
            
“Takut kenapa?” tangan dewi masih sibuk menuangkan air minum dari dalam teko.
             
“Wi, boleh aku jujur.”
            
Dewi mengernyitkan dahi tanda penasaran. Tangannya menyodorkan air putih kepadaku.
            
“Aku pernah melakukan free sex,” ujarku mengakui. Dewi terkesiap kaget.
             
“Dua kali,” raut mukanya semakin terkejut. “Tolong jangan hakimi aku dulu, please.. dengarkan aku.”
           
“Dengan siapa ren?”
           
“Aldo, dua minggu lalu. Dan dua bulan lalu dengan raka. Sewaktu raka hidup, beberapa hari sebelum melakukan itu, aku selingkuh sama aldo. Aldo tahu aku selingkuh, lalu mereka terlibat pertengkaran, daan... secara gak sengaja raka ngebunuh aldo. Untungnya polisi gak bisa ngungkap siapa pembunuh aldo sampai sekarang.”
             
Dewi menutup mulut menggunakan kedua tangannya. Dia tampak terguncang dengan ceritaku. “Rene, itu beneran?”
            
“Aku gelap mata sewaktu melakukannya Wi. Nggaak tahu, aku gak bisa menolak. Dan, pembunuhan itu sendiri aku nggak tahu. Aku Cuma menunggu di motor raka saat itu. Mereka berantem di tempat sepi.”
             
Aku meminum sisa air putih di gelas. Menghabiskannya. “Aku takut, dan setelah aku melakukan hubungan dengan raka. Aku dihantui... sama aldo. Tidurku gak pernah nyenyak akhir-akhir ini. aku takut Wi.”
             
“Re, aku gak tahu. Aku gak bisa ngerespon apapun.”
             
Suara ponselku berbunyi. Telefon dari Diasta. “Halo,” aku menjawabnya perlahan, suara diujung sana terdengar seperti menangis. “Kenapa Di?”
            
“Re... Raka kecelakaan. Dia meninggal di Rumah Sakit kencana.” Aku menjatuhkan handphoneku. Tanganku gemetar.
            
 “Wi, antarkan aku ke RS Kencana.”
             
“Kenapa Re?”
             
“Raka kecelakaan. Dia meninggal.”

***

       Aku keluar dari lift dan berlari melewati koridor lantai tiga rumah sakit. Aku  melihat teman-teman dari sekolahnya yang kentara dengan raut wajah duka. Diantara mereka aku hanya mengenali diasta. Ia tengah sesenggukan menghusap airmatanya disamping teman cowoknya yang tak ku kenal. Aku dan raka memang berasal dari sekolah yang berbeda.

Aku berhenti di ruang bernomor 73 itu. Dari dalam kaca jendela aku bisa melihat orangtuanya yang tengah menangis. Aku melihat tubuh yang terbaring. Itu Raka. Ia tertutup kain putih.

“Wi....” aku memeluk dewi. Sedih sekaligus takut.

Aku terngiang kembali teror mimpiku. Berkali-kali suara aldo bergemuruh berputar-putar di ingatanku. “Aku akan membuat raka pergi dengan cara tragis. Lalu mengambilmu kembali. Tidur disamping makamku.”

Aku menutup telinga. Mencoba menghindari suara-suara itu.

“Di,” aku menghampiri diasta. “Kenapa Raka meninggal?” Siap nggak siap aku mempertanyakannya.

“Motornya tergelincir dan jatuh ke jalur busway. Dan... Ia terlindas.”

Aku menangis sejadinya.. mundur perlahan menjauhi tempat itu. Aku ketakutan.

“Re, tenaaaang. Tenaaaang,” dewi memelukku mencoba menenangkan.

 “Wi, aku gak kuat. Tolong bawa aku ke tempat kosanmu. Aku nggak mau sendiri.”

Dewi menuntunku. Aku menjauh dari ruang 73 itu tanpa menoleh, pergi tanpa masuk lebih dulu kedalam ruangan. Aku pamit dengan diasta menggunakan bahasa tubuhku.

“Wi... sebentar lagi giliranku. Aku yang akan meninggal. Aku wi... Aku takut.. Aku nggak mau wi.. Aku belum siap.”

“Re, Kamu apa-apaan sih! Itu Cuma mimpi. Tenaaaang Re.”

“Tapi kamu lihat sendiri kan? Raka meninggal. Sadis wi! Sadis.”

“Udahlah Re, jangan bicarakan itu lagi. Kita pulang..” 


***

          Dua jam lebih kita diam dalam hening. Aku masih dalam pikiran kacauku, dan dewi yang masih terguncang dengan ceritaku. Jam dinding menunjukan jam tujuh malam. Dewi ijin mandi lebih dulu. Sementara aku masih meringkukan tubuhku di atas kasur, memegani dua kakaiku yang tertekuk sambil sesekali mengusap sisa-sisa airmata yang masih terus menetes.


Angin dari jendela yang setengah terbuka menghunus leherku lembut. Keadaan sunyi senyap. Hanya terdengar percikan air dari dalam kamar mandi yang berguyur pelan. 

Kamar ini terletak di lantai dua. Dari atas sini hanya terlihat gang kecil yang sepi di bawah. Gang itu dibatasi pagar kosan ini yang diatasnya runcing-runcing untuk menghindari maling. Di seberangnya dibatasi langsung oleh tembok samping rumah yang cukup besar.

Apa itu?

Tiba-tiba mataku menangkap sesosok lelaki yang tengah berdiri ditengah gang. Ia memakai jaket hitam. Wajahnya menunduk. Aku memeperhatikannya yang sudah lima menit lebih mematung dibawah sana. Aku berniat menutup jendela, tapi lelaki diluar sana segera menghentikanku dengan tatapannya. Ia menatapku. Aldo?

Aku mundur kaget. Makin gemetar.

“Kenapa Re?” tanya dewi yang baru keluar dari kamar mandi.

“Wi, di bawah sana.. di bawah sana ada aldo.”

Dewi buru-buru naik keatas kasur dan meneroboskan kepalanya keluar jendela.

“Sudah lah wi. Kamu terlalu ketakutan. Pikiranmu masih sulit mencerna keadaan. Kamu banyak berhalusinasi. Mending tidur dulu deh, aku mau keluar dulu beli nasi sama cemilan diluar.”
Aku segera melihat kebawah dari jendela. Kosong. Mungkin ia sudah pergi. Tapi.. ah tidak mungkin itu aldo. Selama ini ia hanya muncul dalam mimpiku. Gak mungkin dia hinggap di alam nyata.

“Wi.. jangan lama-lama,”
Dewi menoleh sebentar menganggukkan kepala. Kemudian menutup pintu perlahan. Sepi. Aku mengambil selimut meringkukan diri tidur di atas kasur. Membiarkan jendela masih terbuka dengan angin malamnya yang kian mendinginkan kamar.

Aku menatap sekeliling ruangan. Segalanya serba sunyi. Padahal lampu hemat energi dengan terang menyinari seisi ruangan. Mataku lembab masih menyisakan bekas-bekas airmata yang jatuh tak sempurna. Aku berusaha menutup mata. Menghindari segalanya dari pikiran itu. Aku tak ingin teringat Aldo. Tapi pikiranku tak bisa kosong. Dan yang ku pikirkan tak lain Cuma teror itu. Dan Aldo.

Aku makin erat meringkukkan kaki. Udara terasa lebih dingin.

Tok tok tok!!

Seketika ada perasaan lega mendengarnya. Aku segera bangun untuk membuka pintu. Tapi sebelum tangan berhasil menekan engsel pintu. Aku berhenti.

Ini kamar kosan Dewi. Dan kamar ini tak terkunci. Bagaimana mungkin ia mengetuk pintu dikamarnya sendiri?

“Wi?” Aku memastikan. Tak ada jawaban dari luar sana. Tigapuluh detik terlewat. Aku segera membukanya.. kosong. Di kiri kanan tak ada siapapun. Hanya koridor kosong yang memisahkan kamar-kamar kosan ini menjadi dua kubu.

Tanpa pikir panjang aku segera menutupnya. Kali ini aku menguncinya baik dengan kunci geser maupun kunci yang dimasukkan ke lubang. Aman! Pikirku.

Aku membalikkan tubuh. Siap merebahkan kembali badan yang makin terasa berat ini diatas kasur.

 BLAM!!!!

Tiba-tiba pintu yang telah aku kunci rapat tadi terbuka keras.

Sontak aku kaget dibuatnya. Segerah ku tolehkan kepala perlahan. Berlawanan dengan denyut jantung yang makin kencang berdetak.       

Kunci tersebut baik-baik saja. Tak terlihat patah. Dan diluar sana masih terasa sunyi.

Di lantai dua ini ada tujuh kamar. Dua kamar tak berpenghuni dan empat kamar yang pemiliknya masih belum pulang. Dan satu kamar lagi pemiliknya sedang keluar bersama dewi. Aku mendengarnya sewaktu dewi tadi mengajak teman kamar sampingnya yang ia panggil dina itu keluar bersamanya ke mini market. Jadi.. di lantai ini tak ada siapapun kecuali aku.

Ponselku yang tergeletak diatas meja bersama gelas kosong itu berbunyi. SMS dari nomor tak dikenal.
Sudah waktunya...

Aku gemetar. Menjatuhkan ponsel itu diatas kasur. 

Seketika, lalu tubuhku terasa hangat. Aku merasakan seseorang mendekat dari belakang. 

BLAM!!!!!

Pintu kembali tertutup. Dengan cepat dua tangan menjulur dari belakang dan memelukku. Aku terhempas seketika entah kemana. Dalam indera penglihatanku yang kabur, aku melihat sosok aldo yang tersenyum getir.

Keadaan sunyi. Aku mendapati diri masih berdiri ditempat semula. Aku merasakan ada yang hilang beberapa detik dalam hidupku. Aku kehilangan waktu sebelum ini. aku mengingat tangan yang memelukku dan sosok aldo yang tersenyum. Tapi seketika aku seperti terhempas. Aku seperti melejit kedalam dunia tanpa ruang dan waktu. Lalu seketika, aku mendapati diriku masih terkatung bingung di tempat ini. masih menatap heran pada pintu yang tertutup rapat dan..... terkunci.

Aku menjatuhkan diri di atas kasur. meringkuk dan menutup diri didalam selimut.

KREK.

Pintu terbuka. Ah dewi... tapi... pintu itu kan terkunci.

Dewi muncul dari belakang pintu yang terbuka itu. Wajahnya tampak bingung. Pandangannya mencari-carri.

Aku bangun dari posisi tidurku.

“Wi.. bener kan! Aldo disini wi... pintu mu tadi terbuka dan tertutup sendiri. Teror itu bener wi. Terror itu bener wii...” Aku mengadukannya dengan sesenggukan. Airmataku keluar lagi.

Dewi masih tampak mencari-cari. “Re.. Kamu dimana?”

Aku terkesiap. “Wi....”

“Re... dimana kamu?” dia masih mencari. Kakinya sudah di atas kasur. ia tepat disampingku. Matanya yang tampak bingung menatap keluar menerobos jendela. Ia maju. Melirik kebawah.

“Aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaak!!!!” dewi mundur dan berlari keluar.

Tak ada yang lebih menakutkan dari ini. Aku mencoba melihat apa yang barusan dewi lihat. Dan aku mendapati tubuhku yang berlumuran darah terkatung dibawah sana. Perutku tertusuk bagian atas pagar yang runcung itu. Robek dan tampak mengerikan.

Aku menangis sejadinya. Tanpa ada yang mendengar.


Komentar

Postingan Populer