Resensi novel : Fahrenheit 451



Judul : Fahrenheit 451
author : Ray Bradburry
Tahun terbit 1953 (asli) terjemahan (2003, edisi 50th anniversary)
Genre : Dystopian
Penerbit : Elex Media Komputindo
"There’s nothing magical about books at all. The magic is only in what books say, how the stiched the patches into one garment of us."
Sinopsis

          Guy Montag adalah seorang pemadam kebakaran yang telah sepuluh tahun bekerja di fahrenheit 451. Sayangnya, pemadam kebakaran sekarang bukan bekerja untuk memadamkan api, melainkan malah menyulut api. Ia sangat menyukai pekerjaannya membakar. Baginya, kobaran api adalah pertunjukan yang menakjubkan, dan minyak tanah adalah sebuah wangi parfum. Pemadam kebakaran membakar segala macam bentuk buku beserta rumah pemiliknya. Orang-orang dilarang membaca buku dan menyimpannya. Saat itu buku adalah pelangaran berat. Buku dianggap benda mati yang tak bisa memberikan kebahagiaan. Buku adalah benda yang menyesatkan.

Suatu malam saat dalam perjalanan pulang, ia bertemu tetangga baru bernama Clarisse McClellan. “usiaku 17 tahun dan aku tidak waras. Pamanku berkata bahwa dua kalimat itu harus diucapkan bersama-sama,” begitulah yang ia ucapkan saat memperkenalkan diri pada Montag. Bagi Montag, Clarisse adalah sesosok gadis cerewet yang 'berbeda' dibanding gadis-gadis seumurannya. Dan bagi clarisse, Montag adalah pria dewasa yang terperangkap dalam kebahagiaan semu. Clarisse pernah mengungkapkan bahwa dirinya dianggap aneh dan antisosial oleh teman-temannya. “aku anti sosial, menurut mereka. aku tidak membaur. Sangat aneh. Aku sebenarnya orang yang bersifat sosial. Semua bergantung pada apa yang kau maksud dengan sosial. Bukankah begitu? Sosial menurutku adalah berbicara denganmu mengenai hal apa saja seperti ini.”

Suatu ketika, kasus datang dari seorang nenek penggila buku. Alarm berbunyi, dan anggota fahrenheit 451 siap membakar. Nenek itu bersikukuh tak akan pernah meninggalkan rumahnya. Ia lebih baik mati dan terpanggang bersama buku-bukunya daripada harus menyaksikan buku-bukunya terbakar dan menjadi abu. Jiwa Montag bergetar. Ia bertanya-tanya, kenapa orang itu begitu mencintai buku? Apa yang ada didalam buku? Apakah sehebat itu kekuatan buku.

Ia lalu mendatangi faber−seorang profesor dan pecinta buku yang ada pada daftar target operasi yang ia rahasiakan dari pemadam kebakaran−untuk mengajarinya soal buku dan menguak kekuatan dari buku. Ia merencanakan sesuatu dengannya untuk menghancurkan pemadam kebakaran. Sayang, sebelum pemberontakan terjadi, istri Montag melaporkan suaminya. Rumah merekapun dibakar beserta buku-buku simpanannya. Montag sendiri yang membakarnya dalam keadaan kacau. Setelah semua hangus, Montag membakar beatty−pemimpinnya di fahrenheit 451. Ia kabur membawa buku yang tersisa.

Atas petunjuk faber, Montag pergi meninggalkan kota. Ia menyususri hutan lewat sungai lalu mengikuti arah rel kereta tua hingga menemukan sebuah camp yang berisi para pecinta buku dari berbagai penjuru. Montag bergabung dengan mereka. Mereka adalah para pecinta buku yang mengembangkan teknik ingatan fotografis melalui latihan. Mereka menyimpan semua isi buku dalam ingatannya. Mereka membagi-bagi setiap penulis untuk diingat oleh beberapa anggota. Dan Montag menawarkan ingatannya tentang al-kitab meskipun ia sendiri merasa samar-samar. Bersama-sama, mereka berniat untuk membangkitkan kembali peradaban membaca buku. Mereka menyimpan semua ingatan tentang buku agar bisa diwariskan ke orang-orang dan anak cucu mereka hingga peradaban baru datang. Hingga peadaban membaca buku kembali mewarnai dunia.

Opini

         Fahrenheit 451 adalah novel dystopian yang paling sering dibandingkan dengan 1984-nya George Orwell. Tak sedikit pula yang berpendapat novel ini lebih baik karena memiliki sisi yang lebih dari sekedar politik. Berbeda dengan orwel yang mengangkat masalah kehidupan sosialis orang-orang komunis. Ray bradburry mengangkat hal kecil yang memiliki dampak lebih besar terhadap peradaban; peradaban tanpa buku, peradaban dimana orang-orang mendewakan tv dan radio.
        
Dalam novel ini, deskripsi suasananya agak samar-samar dan kurang kerasa. Penulis agak menahan untuk menggambarkannya secara gamblang. Banyak sebenarnya pendeskripsian yang rinci, tapi ia menggunakan kata-kata yang sulit dimengerti. Ia menggambarkan keadaan dengan bahasa yang sulit saya cerna sampai kadang suka bolak balik lagi ke halaman sebelumnya. Pun  sama halnya dengan dialognya. Bahasa dalam dialog melalui tokoh-tokohnya bikin saya mengerutkan dahi dan kadang nyeletuk “ini lagi ngomong apa sih?”
          
Membaca novel ini memang memerlukan konsentrasi yang penuh. Jangan pernah membacanya sambil menonton tv atau mendengarkan musik kalau tidak mau ketinggalan detil-detil penting atau deskripsi yang digambarkan secara rumit. Setidaknya itu yang saya rasakan tiap kali membaca novel ini dalam keadaan kurang semangat. Kecuali mungkin yang baca emang memiliki konsentrasi bagus. Kalo saya kan memang agak lemot.
            
Novel ini penuh metafora sampai-sampai penulis kurang memperhatikan detil plot. Saya agak kurang puas sama endingnya yang nanggung. Keadaan perang disini pun digambarkan Cuma sekedar lewat. Oiya, di novel ini juga sudah dikenalkan alat elektronik untuk mendengarkan radio dan komunikasi jarak jauh yang dipasang di telinga (earphone) jauh sebelum alat itu ditemukan. So far ini adalah novel klasik kontemporer yang recomended buat kalian.

Komentar

Postingan Populer