Day 1 Describe My Personality

Muncul secara mendadak, Tan Yen kembali hadir dengan ajakan writing challengenya. Otak seketika flashback ke akhir tahun 2016. Dengan ajakan yang sama, dia berhasil mengajak beberapa teman seperguruan seperti Fea, Tansis, dan Mufi. Setidaknya itu yang aku ingat, karena kami tergabung dalam grup yang sama. Kalau tidak salah, Furqon juga ikut sih, cuma dia mentok di tengah jalan dan tdak melanjutkan sampai akhir. Well, saat itu aku tidak mengiyakannya dalam hati. Setelah satu hari berjalan dan mereka sudah memulai terhitung 1 Januari 2017—pemilihan waktu yang tepat bukan—aku pun tergerak untuk bergabung. 



Tiga tahu berlalu, and here I am, up for the new one. Tema hari pertama tidak sesimpel yang kubayangkan ternyata. Ini sebuah tema yang tidak bisa kucurahkan hanya dari dua sampai tiga paragraf. Personaliti, atau kepribadian adalah hal yang tidak bisa kutulis dan bicarakan secara singkat. Ini terjadi setiap kali orang-orang di sekitarku menanyakan hal tersebut. Hanya ada dua pilihan untuk menjawab; menjelaskannya dengan satu-dua kalimat singkat atau membicarakannya panjang lebar. Dan karena ini tulisan, tentu saja akan jadi panjang. Dan lebar. 

Ya, akan sangat membosankan memang.

Perjalanan di mulai dari sekolah dasar. Saat itu aku punya teman yang terhitung banyak; teman main di rumah, teman main di musolah, teman sekolah, teman-temannya sepupuku yang juga jadi temanku, teman dari saudara satu nenek buyut. Banyak! Menginjak usia SMP, temanku semakin banyak. Mulai saat itu aku sering tidur di rumah teman yang terletak di desa sebelah. Dan karena hal itu pun aku hampir tidak pernah main lagi dengan teman-teman dari desa sendiri. Teman-teman dari desa tetangga lebih seru, lebih asik, lebih satu frekuensi. Kemudian saat SMA, pergaulan semakin luas. Aku mulai ikut OSIS, aktif di Paskibra, bikin klub mading, mengikuti banyak event sebagai perwakilan sekolah, dengan tujuan lain menambah teman. Teman yang harus lebih baik dari teman sebelumnya. Teman yang harus lebih pintar dari sebelumnya.

Menjadi pribadi yang berisik, ramai, tidak tahu malu sudah mulai melekat. Lantas perubahan perlahan terjadi begitu menginjak masa kuliah, aku baru sadar kalau sebenarnya, sifat-sifat tersebut tidak bisa muncul secara tiba-tiba. Aku sangat bergantung terhadap orang lain untuk menjadi diri sendiri. Ah bukan, bukan. Maksudku, aku butuh orang lain. Setidaknya satu orang lain, satu saja, untuk membuat sifat-sifat tersebut muncul secara alami.

Sejak saat itu aku merasa punya dua kepribadian yang bertolak belakang, yang baru kuketahui setelahnya bernama ambivert. Aku bertahan dengan asumsi tersebut sampai beberapa tahun kemudian sebelum mengenal tes MBTI yang membenturkanku dengan kenyataan bahwa 60 – 70% personalitiku dikuasai oleh kepribadian introvert. Tidak sepenuhnya kaget, karena aku pun menyadari hal ini. Masa-masa kuliah, ketika lingkungan pertemanan menjadi lebih kompleks dan tidak hanya bergantung pada satu lingkaran saja, saat itu aku mulai kepayahan. Salah satu contoh, aku pernah menganggap salah satu teman akan menjadi teman dekatku, dan ternyata dia punya lingkungan lain yang aku harus sesuaikan. Atau, ketika aku ikut sebuah persatuan mahasiswa dengan alasan ada satu orang yang kuanggap bisa membuatku rileks di tempat baru, tapi nyatanya tidak. Dia sukses berbaur dengan kepribadiannya yang santai tanpa memperdulikanku, sementara aku terseok-seok beradaptasi. Sejak saat itu aku mulai berpikir, ‘Apa aku belum siap menjadi dewasa? Apa menjadi dewasa harus bisa menempatkan diri di segala tempat dengan mudah?’. Lantas aku menyerah. Aku berhenti ikut kegiatan tersebut. Aku berhenti mengikuti teman A, teman B. Tentu saja aku tidak lantas terluntang lantung sendiri. Aku hanya memisahkan diri, hanya bergabung kalau perlu, lalu menghabiskan waktu sendiri menunggu kelas berikutnya kalau memang lelah dengan pertemanan yang semakin melebar dan dinamis. Atau kadang aku memilih pilihan ketiga, yaitu bergabung tapi menyibukkan diri dengan buku dan handphone. 

Pada akhirnya aku mulai terbiasa dan mulai menjustifikasi diri sendiri dengan alasan, ‘oh aku kan introvert, wajar lah kalau sulit berteman’.

Dan sampai sekarang, garis tipis antara dua sisi yang sama kuat itu makin membuatku lelah. Di satu sisi aku masih dengan kekonyolanku, masih senang menjadi objek becanda dan tidak masalah dengan olok-olokan. Di lain sisi, lingkungan yang semakin dinamis membuatku membatasi diri, karena tentu saja, sifat extrovertku bukan untuk semua orang. Dan berada di situasi yang membuatku terpaksa menjadi easy-going dan konyol seperti yang diharapkan orang malah membuatku semakin sadar bahwa orang lain tidak menginginkanku yang serius, yang tidak santai. 

Pikiranku mulai menimbang-nimbang, mungkin mereka tidak pernah sadar, atau mungkin tidak mau tahu dan tidak ingin peduli dengan hal tersebut. Karena lingkungan pertemanan yang semakin sempit dan semakin banyaknya yang tidak ingin kutemui, aku membuat satu kesimpulan untuk memberi batas jelas pada dua sisi kepribadianku. Aku akan menayimpan pikiran-pikiran seriusku untuk diri sendiri dan tidak memaksa orang lain untuk menerimanya. Kemudian, di sisi lain, aku harus menjaga sisi ekstrovertku untuk mereka yang masih dekat denganku, mereka yang harus kutoleransi, sekali pun di saat yang tidak tepat dan tidak ingin. Pada akhirnya toh bukan karena mereka tidak ingin menerima, hanya saja—mungkin—mereka ingin menjaga kewarasan dan tidak ingin larut dalam tekanan dan kehidupan yang semakin menuntut. Dan aku harus menerima itu. 

Here is one of the best description of my personality I've ever read that it made me shocked the first time i read it. Just want to post it though.


Komentar

  1. Kayaknya samar-samar ingat kejadian ikutan teman, taunya ga cocok sama lingkungannya, ends up planga-plongo. tapi lupa gimana tepatnyaaa hohoho.
    anywaay, welcome on board! semoga kita bisa istiqomah!

    BalasHapus
    Balasan
    1. Istiqomah mengelarkan challenge sampe garis finish!!! 😂😂

      Hapus
  2. Iya dong kaya lagi ngobrol.. kan curhat... wkwkw. btw lupa ngasih embel2 Tan Yen--kembaran capricornku yang terpisahkan pulau. tadinya mau nulis gitu 🤣

    BalasHapus
  3. Kok aku sedih ya bacanya. Terutama di bagian, "sebagian orang mungkin ga suka aku menjadi orang yg serius, yg tidak santai." Jadi mikir sih, kayaknya aku juga sering merasa lelah bersama orang-orang karena merasa harus jadi orang yg menyenangkan, padahal ya ada saatnya aku hanyalah aku yg lagi bete, kecewa, overthinking dllsb. Tapi untungnya setelah makin tua makin merasa ga masalah utk membatasi pertemanan ya... At least, aku sendiri skr mikirnya, klo ngabisin energi, wes lah dikurang2i ae ��

    BalasHapus
    Balasan
    1. Kalau ada love kayak di instagram, aku mau klik love di komemtar ini.... 😂😂

      Hapus
  4. Yang jelas aku dulu tau Heru dari Vivi, wkw dan udah semacam nebak2 kepribadianmu yang menurutku kayaknya dulu kamu songong hahaha cuma liat dari foto. Ternyata setelah kenal, baik dan ramah sekali...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sebut saja 'you know who' muuuf 😂😂

      Hapus

Posting Komentar

Bercuap here!

Postingan Populer